Sabtu, 29 September 2012

29 September 2012

Hai! Sekian lama ga nge-post akhirnya nge-post juga ya gue sorry sorry gue lupa pswrd akun gue nih soalnya huftttttt:-( Belum ada cerita baru nih, kapan-kapan yaa soalnya lagi sibuk belajar banget, kan mau jadi anak yg pinterrr huehehe;-3 udah deh gitu dulu, gatau mau ngomong apaan. Curhat? Ga ada yg mau dicurhatin hihi Eh yadeeehh cuma mau bilang, gue dapet temen-temen baru yg super duper luar biasa enaknya;3 gue punya temen baru bukan berarti gue lupa ya sm temen lama. Ga kok, temen lama inget semua;) udah deh gitu aja, mata ngantuk babayyy Follow deh follow twitter calon orang sukses (aamiin) satu ini: @ChaturRahma Peace, love and gaul:):):)

Sabtu, 30 Juni 2012

http://www.facebook.com/chaturrhm

LUKISAN UNTUK PAPA

1. Namaku Fika




Hai, namaku Rafika Larani dan biasa dipanggil Fika. Aku mempunyai satu kakak perempuan bernama Ekha Apsanie, ia biasa dipanggil Ekha. Mamaku bernama Hanifah ia bekerja sebagai dokter. Papaku bernama Jhon Zauhari, ia bekerja sebagai Dosen di sebuah universitas negeri di daerahku. Aku senang dengan mereka, senang sekali karena aku yakin aku pasti akan dimanja karena aku paling kecil dirumahku hehe..
Aku masih kelas 2smp dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang tidak jauh dari rumahku. Kakakku sekarang sudah kelas 2sma dan ia bersekolah jauh dari rumah. Kakak bersekolah disana karena ia mendapat beasiswa dari sekolah itu karena memang dari kecil dia sangat berprestasi beda hal nya dengan aku, aku adalah gadis kecil yang bodoh, kurang pergaulan, dan tidak tahu apa-apa..
Kakak selalu diantar-jemput oleh Mama, aku jalan kaki saja kok hehe. Tetapi, apabila kami sedang berkumpul ria, aku terkadang iri melihat kakak yang selalu dibanggakan oleh Mama. Ya, pantas dan wajarlah ia membanggakan kakak, karena kakak itu memang anak yang sangat cerdas. Aku bangga mempunyai kakak seperti kak Ekha.



2. Saat Awal Aku Menyukai Melukis


Disekolah ku, aku mengikut tiga sekaligus ekstrakulikuler yaitu basket, PMR dan Seni Lukis. Tahukah kalian teman, dalam semua bidang ekstrakulikuler yang aku ikuti ini, tidak ada yang sangat aku bisa. Aku termasuk anak kaku untuk bekerja seperti itu. Mungkin kalian akan tertawa geli bila melihatku yang culun, kaku, tidak bisa apa-apa tetapi mengikuti tiga sekaigus ekstra kulikuler disekolah, hahaa..
Tetapi aku merasa aku sangat disayangi oleh guru-guru yang mengajarku entah mengapa aku merasa begitu apa lagi Ibu Safira, guru yang mengajari kami dalam bidang Seni Lukis ini sangat peduli denganku. Dia yakin, bahwa tanganku pasti bisa menciptakan suatu karya seni yang luar biasa. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum sambil menahan tawa. Ya bayangkan saja, apa yang aku bisa dengan tangan-tangan kaku ini?
Beberapa minggu kemudian setelah aku giat mengikuti ekskul ini, aku sangat menyukai Lukis ini. Aku latihan melukis lebih giat bukan karena keluargaku sangat mendukung, melainkan guruku itulah yang sangat memberi semangat yang ekstra. Karena itulah, aku yakin aku bisa! Aku tidak akan mengecewakan orang yang telah memberikanku semangat lebih dari Ibu Kandungku.
Ketika ada suatu lomba melukis, aku diajak oleh Ibu Safira untuk mengikutinya tetapi aku menolak. “waah Ibu kalau mau bikin smp kita menang jangan pakai aku, Bu. Aku gak bisa apa-apa. Jangan aku yah, Bu! Aku bakal malu kalau Ibu ngajak aku.” Aku sudah berkata sambil menolak seperti itu, tetapi Ibu Safira masih saja mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba melukis ini. Ya, aku hanya bisa pusing dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi sebelum lomba itu. Namun aku yakin, dibalik sebuah usaha pasti ada hasil yang memuaskan.
Ketika sudah lomba, apa yang aku fikirkan itu jadi tidak karuan semua karena terlalu pusingnya aku. Rasanya ingin cepat-cepat pulang, tidak mau mendengar pengumuman siapa yang akan menang. Kak Monica, kakak kelasku sudah sangat yakin bahwa dia akan memenangkan lomba ini dan dia selalu menertawakan aku karena kemampuanku yang belum seberapa tapi sudah diikuti lomba tingkat kota. Kak Monica emang pernah menyumbangkan piala juara 3 lomba melukis tingkat kota tahun kemarin, mungkin karena itulah dia menjadi terlihat sombong, angkuh. Ya, tapi mau bagaimana lagi dia adalah kakak kelasku, aku tidak bisa melawannya karena aku takut akan terjadi apa-apa denganku.
Ketika pengumuman pemenang diumumkan, aku sudah sangat takut, malu, keringat dingin, dan rasanya ingin menangis. Juara 3sudah diumumkan dan aku makin kecewa. “yah, juara 3 saja lukisannya sebagus itu. Mustahil sekali aku untuk menjadi juara. Ah biarin deh yang penting pengalaman dulu.” Namun saat aku berkata seperti itu, Ibu Safira malah memarahi aku dan menyuruhku tetap optimis. Tapi bagaimana, rasa kecewa itu sangat mendalam dihatiku ini. Juara 2 akan diumumkan dan? Waw! Apa yang terjadi? Apakah aku bermimpi? Ya Tuhan, terimakasih atas semua ini. Aku juara 2? Ah aku benar-benar bermimpi? Tidak! Aku tidak bermimpi. Betapa senangnya aku, rasanya seperti mimpi indah yg tidak akan kulupakan, tetapi saat itu aku tidak tidur dan tidak bermimpi.
Saat kami akan pulang, semua anak yang mengikuti lomba itu memberi selamat kepada sang juara-juaranya, tetapi beda halnya dengan Kak Monic. Dia tidak memberikanku selamat, atau pujian sama sekali. Saat di bus, Kak Monic menangis disamping Bu Safira sambil marah-marah dan berkata “Juri tahun ini memang benar-benar buta! Beda dengan juri tahun kemarin yang memang sudah benar, sudah ada bakat untuk menilai hasil lukisan seseorang. Buta! Mereka buta semua!” mendengar itu aku hanya diam tidak berani berbicara apa-apa, dalam hati ku hanya berkata “Sudahlah, ini memang bakatku dengan kemampuanku dan semangat dalam hatiku. Aku tidak curang, aku menang karena aku memang benar.”

3. Aku Yakin, Aku Bisa!







Setelah sampai dirumah, aku langsung memberi tahu Mama, Papa dan Kakak bahwa aku telah menang dalam lomba ini, Papa sangat senang mendengar kabar itu, namun beda hal-nya dengan Mama. Respon yang mama berikan saat aku mengatakan bahwa aku telah menang  biasa saja. Tak ada rasa bangga, malahan dia mengatakan bahwa menang dalam lomba melukis itu adalah hal yang sangat biasa karena itu cocoknya untuk anak-anak kecil bukan anak-anak se-usiaku seperti ini. Mendengar itu aku hanya bisa diam dan menahan sedih. Mungkin kritik dari ibu itu cocok untukku jadikan sebagai pendorong semangatku agar aku lebih giat berlatih, lebih sering belajar melukis seperti ini. “aku yakin aku bisa!” mungkin aku terlalu sakit hati melihat Mama berkata seperti itu, namun aku akan tunjukkan kepadanya bahwa aku pasti bisa!
Karena aku terlalu pusing, terlalu memikirkan perkataan Mama, aku mulai membuat banyak-banyak tulisan “AKU YAKIN AKU BISA” dari kertas warna yang lalu akan aku tempelkan pada semua sisi sudut kamarku. Sekarang lihatlah kamarku, penuh dengan tulisan seperti itu. Setiap kali aku mengundang temanku kerumah dan bermain di kamarku, mereka selalu bertanya “untuk apa kau membuat ini?” dan aku selalu menjawab, “itu adalah doa. Setiap orang yang membaca ini maka aku sangat berterimakasih dengan mereka karena mereka telah mendoakanku supaya aku bisa.” Teman-temanku hanya bingung dan aneh mendengar jawabanku. “aku serius!” aku mengulangi perkataanku tadi agar mereka benar-benar percaya denganku.
Saat itulah setiap aku bangun dari tidur, aku langsung membaca kata itu. Aku harus bisa, aku yakin aku bisa! Aku akan berusaha sendiri, berusaha sebisa mungkin untuk membahagiakan Mama & Papa. Aku ingin mengikuti jejak kakak ku yang selalu bisa membahagiakan Mama & Papa. Dia bisa, kenapa aku tidak? Aku yakin aku bisa!



4. Mungkin, Mungkin Itu Pasti.










Setiap kali aku latihan melukis disekolahku, selalu aku perhatikan bahwa yang selalu mengasih semangat ke aku itu Papa. Tapi, apakah ada Mama selalu mendukungku? Tidak! Aku tidak pernah melihat dia memberikanku semangat dan dukungan untukku. Iya, pastinya kalian tahu apa yang aku rasakan. Betapa sedihnya aku.
Sering kali aku berfikir bahwa “apakah aku bukan anak kandung dari Mama?” aah kenapa aku selalu berfikir negatif. Tapi pertanyaan itu selalu ada di benakku. Yang selalu aku fikirkan, mengapa Mama lebih mendukung semua kegiatan Kak Ekha dari pada aku. Aku tau itu, aku tau Kak Ekha memang lebih unggul prestasi dari pada aku. Tetapi, setidaknya Mama juga harus memberi dukungan kepadaku, walau sedikit tetapi itu harus ada. Ya, kalian tau kalau aku memang iri. Aku seperti kehilangan kasih sayang dari seorang Ibu, itu sempat membuatku putus asa dalam hidup. Tetapi ya bagaimana, aku tidak bisa membenci Ibuku sendiri bagaimanapun juga sifat dia terhadapku, dia tetap Ibuku.
Hanya dialah yang bisa membangkitkan semangat hidupku lagi. Benar, dia adalah Papa. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya, dia selalu memberikanku kasih sayang yang super besar. Dia selalu menjagaku, disaat aku sedih tempat ku untuk mencurahkan perasaanku hanyalah dia walau dia laki-laki, tetapi aku selalu bertanya tentang keadaan wanita dengannya sehingga dia seperti Mama.
Aku tidak ingin lagi berfikir tentang negatif karena aku yakin itu semua salah dan tidak benar. Terimakasih ayah atas semua perhatian dan kasih sayang yang kau berikan, suatu saat aku pasti akan membalas ini walau kubalas hanya dengan sebuah nilai yang kecil bagimu tetapi itu suatu usaha terbesar bagiku. Aku berjanji akan membuatmu senyum bahagia, senyum bangga terhadapku! Percayalayh Pa! Aku berjanji, percayalah!


5. Dia Sama Sepertiku




       Ketika pulang sekolah, aku diajak oleh Bu Safira mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, kebetulan juga aku ingin sekali tahu rumahnya. “bentar ya, Bu. Aku minta izin dulu sama papa.” Kataku sebelum khendak pergi kerumah Bu Safira. Kemudia aku  menelpon papa menggunakan telepon umun yang ada di depan sekolah ku. “Assalamu’alaikum Pa. Ini fika, Pa.”



“oh dengan Fika. Kenapa sayang?”
“Pa, boleh nggak Fika pulang sekolahnya langsung kerumah Bu Safira”
“memangnya ada acara apa?”
“gak ada, Pa. Cuma ingin berkunjung aja kok”
“ya sudah. Tapi hati-hati ya. Pulangnya gimana?”
Aku sempat diam dan berhenti bicara, lalu bertanya sama Bu Safira bagaimana aku pulangnya? “tidak apa-apa. Nanti Ibu antar saja kerumahnya, yah.” Jawab Bu Safira dengan tenang. Lalu aku melanjutkan percakapanku dengan ayah dan terimakasih aku diizinkan untuk berkunjung ke rumah Bu Safira.
Kami kerumah Bu Safira naik Bus,karena aku pertama kalinya keluar dengan orang yang bukan keluargaku tentu tetap takut walau sekalipun itu guru terbaikku karena pesan Papa selalu berhati-hatilah dengan orang yang tidak kenal dekat olehku.
Cukup jauh teman perjalanannya, aku pun mual-mual di Bus karena ga tahan. Ketika sampai di rumah Bu Safira aku merasa puas sekali karena rasa mual ku di Bus terbayar karena baru sampai depan pagar aku sudah menikmati taman yang penuh dengan bunga-bunga kesukaanku.
Ketika masuk kerumahnya, aku melihat banyak sekali lukisan-lukisan indah ketika kutanya itu semua lukisan karya Bu Safira dan Suaminya, Pak Retno. Aku melihat-lihat isi rumah Bu Safira, ketika ke ruang tv aku melihat seorang gadis sedang menonton tv, aku tidak tau itu siapa.dan aku coba-coba untuk menyapanya “Hay, kamu siapa?” sapaku sambil tersenyum. Saat ku sapa dia, dia malah kaget dengan wajah cemas sekaligus pucat. Aku malah takut, niatku yang baik ingin ngajak kenalan eh malah hancur. Aku bingung lihat dia, lalu aku berlari ke dapur dan bertanya kepada Bu Safira dia itu siapa? “dia itu anak Ibu satu-satu nya. Memangnya kenapa?” jawab Bu Safira.
“siapa Bu namanya?”
“namanya Adista Rinjana biasa dia dipanggil Adis. Kamu sudah lihat dia? Lihat dimana?” jawab Bu Safira sambil membuat kue.
“iya, Bu. Tadi saat aku ke ruang tv liat dia nonton tv. Tapi waktu aku mau deketin dia, dianya berlari dengan wajah cemas itu loh, Bu. Aku sedikit agak tersinggung, Bu. Memang di diriku ada salah apa ya, Bu?”
Sambil menatapku dengan sedih, Bu Safira seperti ada yang disembunyikannya selama ini. “kenapa, Bu?” tanyaku ulang.
“kita ke ruang tamu saja. Kalau cerita disini Ibu rasa makanannya bisa ga steril lagi. Hehe..” Kata Bu Safira yang mencoba menghibur dirinya sendiri.
Saat di ruang tamu, Bu Safira mencoba membuatku lupa dan tidak penasaran. Tetapi aku tetap menagih apa yang ingin diceritakan oleh Bu Safira. “Begini, Adis sewaktu kecil bersekolah sama seperti mu. Mempunyai banyak teman, tapi teman-temannya tidak sebaik apa yang difikirkan oleh Adis. Adis dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya, namun itulah yang membuat Adis dibenci oleh teman-temannya. Adis selalu diejek, bahkan dia sering di tampar, disiksa oleh teman-temannya. Hal itu sempat membuat Adis untuk takut pergi bersekolah. Ceritanya seperti drama saja ya. Rasanya juga kurang percaya, hehe” cerita Bu Safira sambil menahan air mata.
“oh, kalau begitu sama dong Bu seperti aku.” Jawabku dengan wajah ceria yang menyembunyikan perasaan sedih.
“sama? Maksudnya?”
“iya sama, Bu. Aku di sekolah sering banget di ejek, dijahilin bahkan rambutku suka ditarik-tarik oleh temanku. Tetapi tidak apa-apa, Bu. Karena aku yakin mereka yang seperti itu dengan kita akan dapat balasan yang lebih dari kita.”
“kamu sering diperlakukan seperti itu? Oleh siapa Fika?” tanya Bu Safira yang terlihat sangat penasaran.
“Dia bukan siapa-siapa, Bu. Hehee.. kue yang ingin Ibu buat tadi gimana, Bu? Ntar dibawa kucing lari lagi” kataku sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
“kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Fika! Katakan pada Ibu, siapa yang berlaku jahat seperti itu dengan kamu?”
“di..di..ddiiiaa Kakk..kakk Mon..mon Monic, Bu.” Kataku yang gugup menjawabnya.
“oh dia. Kenapa dia bisa begitu?”
“sepertinya dia iri Bu dengan saya karena akhir-akhir ini Ibu selalu memerhatikan aku terus. Eh iya Bu, jadi Adis gak sekolah?”
“hahahah.. lucu ya mendengarnya. Dia home schooling, iya karena dia trauma saja untuk bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Ibu jadi lupakan sama kue tadi, Ibu panggil Adis dulu ya biar kamu ada temen ngobrol.”
“iya iya, Bu!”
Saat aku diajak ke kamar Adis, ternyata Adis sedang belajar. Ibu Safira bilang kalau aku adalah teman barunya yang baik, beda dengan teman-teman sekolahnya dulu. Adis masih takut melihatku, tetapi aku berusaha untuk membuatnya tidak trauma lagi terhadap teman sekolah. “hay Adis”
“hay” jawabnya dengan takut.
“ya sudah, kalian duduk di ruang tv saja ya jadi bisa ngobrol sambil nonton kan. Ibu tinggal ya. Bunda buat kue kesukaan Adis dulu ya.” Kata Bu Safira sambil mencium dahi Adis.
Selama duduk di ruang tv sambil menunggu Bu Safira buat kue, kami hanya diam saja. “Adis kelas berapa? Eh iya, namaku Fika kelas 2 SMP. Aku sekolah di tempat Bundamu mengajar.” Sapaku duluan.
“kelas 2smp juga. Iya.” Jawabnya yang singkat sekali.
“aku dengar kamu home schooling ya? Kenapa gak sama sepertiku saja yang bersekolah biasa?” tanyaku.
Dia sama sekali tidak menjawab. Benar apa yang dikatakan oleh Bu Safira, dia memang mempunyai trauma yang mendalam terhadap teman-teman sebaya nya.
“kenapa gak sekolah sama sepertiku? Aku juga sama sepertimu, yang sering di jahilin oleh teman-temanku. Namun, aku menganggap itu biasa saja. Bahkan kalu dilihat dari sisi hidup kita, kau lebih beruntung dari aku. Kau tak pantas untuk mengeluh, aku saja yang lebih buruk nasib dari pada kau selalu menghindari rasa mengeluh, kecewa dan putus asa.” Bujukku ulang.
“maksudmu apa bahwa aku lebih beruntung dari kau?” tanya Adis
“ya, kau hanya dijahati oleh temanmu saja namun dalam rumahmu, kau sangat disayang apa lagi oleh Bunda mu. Kamu tau, aku terkadang iri lho melihat seorang anak yang sangat dimanja, disayang oleh Ibu kandungnya sendiri. Iya, aku memang mendapat kasih saya dari seorang Ibuku. Tapi, bagiku kasih sayang itu menyakitkan.” Jawabku sambil berlinang air mata.
“kenapa begitu? Kamu jangan nangis ya.”
“Ibu ku tidak menganggapku sebagai anaknya.” Kataku sambil menahan tangis. Tiba-tiba Adis langsung memelukku. “Aku beruntung, ya aku beruntung. Terimakasih, kamu jangan pernah nangis. Ibumu sayang denganmu, bagaimanapun dia adalah Ibumu.” Hibur Adis agar aku tidak menangis.
“terimakasih, Dis” balasku dengan senyum.
“sama-sama, Fika.” Kata Adis sambil senyum haru.
Setelah itu, untuk lebih akrab lagi aku diajak oleh Fika untuk main ke kamarnya. Dia memperlihatkan semua mainan yang ada dikamar nya. Dia memperlihatkan album foto-foto bersama keluarganya. Dia menceritakan bagaimana sewaktu kecil dia diperlakukan jahat oleh temannya. Mendengar semua cerita itu, aku tidak bisa berkata banyak karena memang aku tidak tahu jelas bagaimana jalan ceritanya, tetapi aku hanya mengasih saran saja kepadanya bahwa “Hidup tidak selalu baik, tidak selalu buruk. Jadi, biasakan dirimu ya!”  karena keasikan bercerita, sampai-sampai kami tidak mendengar kalau Bu Safira memanggil kami untuk mengajak makan kue yang telah ia buat tadi.
Sehabis makan kue, aku sengaja mengajak Adis untuk jalan-jalan keluar rumah karena seperti kata Bu Safira, dia jarang keluar rumah. Bahkan, perjalanannya selama ini yang paling jauh adalah pagar rumahnya?! Waw, apa kata kalian? Aku saja kaget. Hehe..
Kami berkeliling komplek rumahnya menggunakan sepeda Adis. Adis masih takut membawa sepedanya sendiri, jadi aku yang membawa dan Adis duduk di belakang. Ini lucunya, ketika sudah cukup jauh dari rumah mengelilingi komplek, kami terjatuh karena ban sepeda nya pecah. Kami bukannya malah minta tolong tetapi kami tertawa menahan malu. Sampai kerumah Adis, kami membawa sepedanya dengan mendorong sambil tertawa-tawa. Itu sangat seru! Tiba dirumah, kami langsung disuruh masuk oleh Bu Safira karena dia memasak sesuatu dan dipintanya untuk mencicipi dulu. Tahukah kalian apa yang aku fikirkan ketika Bu Safira perhatian denganku? Ya, dia yang bukan Ibu Kandungku saja bisa memberikanku perhatian yang lebih, kenapa Ibu Kandungku bersifat seolah Ibu Tiri bagiku? Ah sudah, lupakan itu. Bagaimana pun dia tetap mama ku.


6. Sampai Kapanpun, Kakak Sayang Fika


Mungkin karena keasikan bermain aku sampai lupa waktu. Waktu telah menunjukkan jam 5 sore. Ini kali pertamanya aku keterlaluan, pulang sekolah saja jam 12 sedangkan baru mau pulang kerumah baru jam 5 sore. Tapi, tidak apa-apa kan aku sudah diizinkan oleh Papa. Dan aku langsung segera minta antarkan oleh Bu Safira untuk pulang kerumah.
Sampai dirumah, aku disambut dengan kekecewaan. Kegembiraan ku saat dirumah Bu Safira berkahir secepat itu. Baru masuk pintu saja sudah dibentak oleh Mama. “dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Mau belajar jadi anak nakal? Gitu?!” bentak mama dengan keras.
“dari rumah Bu Safira, guru seni lukisku, Ma.” Jawabku dengan pelan
“masih mau lanjutin lukisnya? Bisa apa kamu dengan tanganmu itu? Jangan selalu buat saya malu ya dengan tingkah kamu!” bentak mama dengan keras.
“apa lagi ini, Ma? Jangan marah-marah kenapa? Fika tadi sudah menelpon Papa kalau mau ada kegiatan dirumah gurunya. Sini Fika, tadi makan dimana sayang? Mandi dulu ya, kalau sudah mandi langsung makan.” Kata papa untuk membela dan menenangkan aku.
“iya, Pa.” Jawabku dengan pelan.
Setelah aku sudah mandi, aku mendekat ke kamar Papa. Aku mendengar mereka sepertinya sedang seru berbicara dan nampaknya di dalam kamar Papa ada Kak Ekha. “Ma, Pa, besok boleh nggak Ekha pergi nonton? Kata temen sekarang lagi ada film yang bagus lho. Kan aku penasaran” pinta kak Ekha yang ku dengar.
“boleh dong, sama temen ya?”
“nggak usah deh, Ma. Sama Fika aja, mungkin kan lebih seru.”
“seruan sama temen-temen kamu kali. Sama temen aja, biar gak ada rasa malunya gitu.”
“malu? Maksudnya?” sambung papa.
“ya, begitu. Coba Papa fikirin, apa pantes Ekha yang lembut gemulai jalan sama anak itu? Yang culun? Kasihan Ekha, pasti besar dia menahan rasa malu.”
“ma, mama malu punya anak seperti Fika? Malu kenapa? Dia sama seperti anak yang lainnya. Dia tidak berbeda! Bahkan dia mempunyai akal yang kuat. Kalau mama malu punya anak seperti Fika, berarti Mama juga malu mempunyai suami seperti Papa!” bentak Papa dengan mama.
“malu? Ekha gak malu, Ma! Dia kan adik kandung Ekha. Ekha sayang Fika. Pokoknya Ekha tetep mau jalan sama Fika aja! Kalau bukan dengan Fika, Ekha gak mau.” Pinta ulang kak Ekha.
“iya ma, lagi pula kasih dia kebebasan juga. Jangan selalu dirumah saja, itulah yang membuat dia kurang pergaulan. Kurang pergaulan dia itu adalah mama yang menyebabkan! Jadi, semua itu salah Mama!” bentak papa.
“Papa! Kalau saya tau Fika akan remaja dengan seperti itu, aku lebih memilih untuk tidak mengenalnya sekaligus aku tidak akan melahirkan dia!” jawab mama.
Mendengar itu, aku langsung ke kamar dan menangis ditempat tidur. Mencoba menahan tangis itu susah, apalagi jika mendengar kata-kata seperti itu dari mulut Ibu Kandung kita sendiri.
Tak lama itu, Kakak langsung masuk kamar dengan rasa cerianya. Dia kaget melihatku menangis dan langsung menghampiri ku dan bertanya “Fika, kamu kenapa dek?” aku hanya diam dan kemudian dia bertanya ulang “Fika kenapa? Fika cerita sama kakak ya. Fika kenapa? Mungkin kakak bisa kasih saran yang baik untuk Fika.”
“Mama nyesel kak ngelahirin aku. Kenapa Mama ga bunuh aku saja?” kataku sambil menangis kesal.
“Fika gak boleh ngomong kayak gitu!” kata kakak sambil melihatku penuh haru. Lalu, dia langsung memelukku dan berkata “Fika, Fika tu adek Kakak. Kakak sayang sama Fika, sampai kapanpun kakak sayang Fika. Mungkin Fika mendengar apa yang dikatakan oleh Mama di kamar tadi, tapi tolong jangan difikirin, ya. Pokoknya Fika harus tau kalau yang sayang dan perhatian sama Fika tu banyak.”
Mendengar itu, aku berusaha untuk menghapus air mataku. Aku yakin, memang banyak yang sayang padaku. Bahkan kakakku yang berusaha untuk tidak melihatku menangis. Kemudian kakakku langsung mengajakku untuk Sholat Magrib dan berdoa agar aku selalu diberi kesabaran, kekuatan dan ketabahan.


7. Demi Papa, Fika Akan Selalu Berusaha


Keesokan harinya saat pulang sekolah, Bu Safira langsung menghampiriku dan membawakan kabar gembira kepadaku. Ia mengatakn bahwa sabtu depan akan diadakan lomba melukis tingkat provinsi dan aku sebagai perwakilan dari sekolahku. Aku saja kaget, bagaimana bisa aku mewakilkan sekolah tetapi kata Bu Safira aku harus yakin sepenuh hatiku bahwa dengan tanganku ini aku akan menciptakan sebuah karya yang luar biasa.
Lalu saat pulang kerumah, aku langsung bicara dengan Papa dan minta izin bolehkah aku untuk mengikuti lomba ini? Papa saja kaget, lalu Papa mengizinkan aku untuk ikut lomba ini. Banyak lah hal yang aku perlukan dalam lomba ini, dan aku langsung minta belikan saja dengan Papa. Papa langsung cepat ke toko alat tulis untuk membelikan semua peralatan yang aku butuhkan saat ingin ikut lukis. Aku menyimpan semuanya dengan baik-baik di dalam lemari ku.
Tidak kusangka hari perlombaan sudah di depan mata, aku mulai mencari suatu objek yang mana mungkin baik untuk kujadikan lukisan pada saat perlombaan nanti. Aku sudah mendapatkan contoh untuk menjadi objek gambarnya. Aku mendapati gambar seorang Ayah yang sedang berbicara dengan anaknya. Aku mulai mencoba-coba dan berlatih agar aku bisa.
Pada saat hari lomba pun tiba, aku sudah sangat mulai deg-degan. Aku bangunnya sangat pagi karena untuk persiapan lomba. Mendengar suara yang ribut dari kamarku dibawah karena aku terlalu sibuk mencari apa saja yang ingin aku bawa saat lomba nanti, Papa terbangun dari tidurnya dan mungkin saja Papa masih sangat dalam keadaan ngantuk dan dipaksakan untuk turun melihatku dibawah, apa yang terjadi saat itu teman? Papa jatuh dari tangga! Kemudian Papa pingsan sesaat, aku sangat takut dengan kejadian itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa menolongnya karena aku tidak kuat. Yang aku perbuat hanyalah membangunkan Kakak dan Mama. Awalnya aku sangat takut untuk membangunkan Mama, namun bagaimana? Ini kondisi  yang sangat penting. Mau tidak mau aku harus melakukan ini.
Melihat itu, Mama langsung menelpon ambulan darurat dari rumah sakit tempat ia bekerja. Dan Papa langsung dilarikan kerumah sakit dan langsung masuk ke UGD. Melihat kondisi Papa saat itu, yang aku lakukan hanya menangis dan menangis. Lalu Mama bertanya kepadaku bagaimana keadaan itu bisa terjadi? Aku menceritakan semuanya dengan jelas namun hati ini sangat bergetar saat berbicara dengan Mama. Setelah mendengar cerita itu, Mama langsung menamparku. Mama menghina ku dengan berkata “Dasar kau! Memang kau ini pembawa sial, aku tidak ingin mengenal kau lagi! Anak sial! Aku benci kau!” mendengar itu, tentu aku hanya makin menangis saja.
Terpaksa aku harus pulang kerumah untuk menghindari kemarahan Mama. Aku langsung bersiap untuk mengikuti lomba melukis ini. Sebelum pergi aku juga masih berfikir, menjaga Papa dirumah sakit atau pergi lomba? Lalu untuk menentukan jawaban itu, aku segera kerumah sakit langsung melihat Papa. Sambil menangis, aku bisikan kata-kata cintaku kepada Papa. Aku minta doa agar aku bisa sukses dalam lomba ini. Demi Papa, Fika akan berusaha, Pa! Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan Papa dirumah sakit, aku hanya ingin bersama Papa saja. Dengan bisikan terakhirku sebelum pergi, aku bisikan kepada Papa “Pa, Fika janji Fika bakal menang. Kalau Fika menang, lukisan dan hadiah Fika ini untuk Papa.” Walaupun dia belum sadar dari tidurnya.
Ketika itu, aku langsung pergi. Ditemui oleh Bu Safira, Bu Safira pun kaget dan heran bahkan berapa kali ia menanya tidak aku jawab. Dan terakhir kalinya ia bertanya mengapa aku menangis? Aku menjawab dengan teriakan kecil “Papa..Papa sakit. Sekarang ia masuk rumah sakit. Papa sakit karena aku, Bu. Aku tidak mau kehilangan Papa. Lebih baik aku yang menghilang dari pada harus kehilangan Papa.” Mendengar itu, Bu Safira hanya diam seperti menahan nangis juga. Mungkin Bu Safira ingin aku ceria, dia tidak ingin aku menangis.
“Kamu sayang kan sama Papa? Papa juga sayang sama kamu. Jadi itu bukan salah siapa-siapa. Itu hanyalah takdir, semua orang mendapatkan itu.” Hibur Bu Safira
Mendengar itu, aku mencoba untuk nerhenti menangis. Aku yakin bahwa aku bisa membuat Papa tersenyum lagi. Lomba pun tiba. Hanya gugup yang  aku rasakan. Fikiranku hanya Papa, Papa dan Papa.
Setelah lomba usai, rasanya aku ingin pulang saja. Aku ingin melihat Papa dirumah sakit. Aku tidak mau mendengar pengumuman itu. Fikiranku untuk menang pun hilang, karena fikiranku saat lomba sudah berantakan. Aku kecewa, janjiku kepada Papa hilang sudah.
Saat pengumuman pemenang tiba, aku langsung berdoa agar aku bisa menepati janjiku kepada Papa. Ternyata, terimakasih Ya Tuhan. Aku mendapatkan juara 1. Uang tunai dan pialanya aku bawa pulang cepat. Tidak ketinggalan, aku membawa hasil lukisan ku ini kerumah sakit. Aku berlari-lari masuk rumah sakit bahkan selalu hampir ingin jatuh.
Saat sampai dirumah sakit, aku melihat ada Om Fariz, Tante Yuni dan Kak Ekha menangis didepan pintu kamar perawatan Papa. Saat aku bertanya dengan Kakak, mengapa kalian semua menangis, kakak langsung memelukku, dan mengatakan “Kita sekarang anak yatim, dek.” Mendengar itu aku tidak percaya, sanagt tidak percaya. Aku langsung masuk ke kamar dengan membawa piala dan hasil lukisan ku ini.
Tiba dikamar, benar apa yang dikatakan oleh Kakak. Tetapi aku tetap tidak percaya. Aku melihat mayat Papa dengan rasa sangat tidak percaya, aku teriak sekencang mungkin agar Papa bangun dan melihat apa yang aku bawakan untuk dia. “Lukisan ini hanyalah untuk mu, Pa. Bangunlah, dan lihatlah.”
Diluar rumah sakit, aku seperti orang gila. Memeluk lukisan itu dengan menyanyi lagu yang pernah Papa beritahu padaku sambil menangis.
Sejak kejadian itu, aku jadi trauma dengan tangga. Sejak kehilangan Papa, aku sangat merasa kesepian. Sejak aku merasa sepi, maka aku akan belajar untuk mencari keramaian. Aku Tahu, Tuhan memang adil, tetapi kenapa engkau harus lebih cepat mengambil orang kesayanganku dari pelukanku? Tuhan, tolong beri dia ditempat yang layak baginya, tempat yang baik baginya, tempat yang tenang karena orang seperti dia tidak pantas diberikan tempat yang buruk, suram dan tak tenang. Maafkan lah aku, Tuhan. Sebelum dia Engkau panggil, aku tidak pernah membuat dia bangga, membuat dia bahagia. Aku tidak akan melupakan semua kisah-kisah terindah yang kita alami selama ini. Aku hanyalah anak yang buruk, kenapa tidak aku saja yang Kau jemput terlebih dahulu?


THE END

FERLISSA

1. kisah awal bahagia mereka




Disuatu kota, ada keluarga yang terkesan akan keharmonisan mereka. Mereka tinggal disuatu pemukiman yang mungkin bisa dibilang pemukiman yang elit. Mari kita dengar siapa sih keluarga itu? Ayahnya bernama Santoni Ibunya Bernama Malia anak pertamanya bernama Ferli Raditya dan anak keduanya bernama Alissa Maya. Ayahnya bekerja sebagai entertain dan ibunya bekerja sebagai guru disuatu sekolah negeri di suatu daerah. Saat itu Ferli masih berusia 7thn dan masih duduk di kelas 2SD , sedangkan Lissa masih berusia 5thn dan masih TK.
     Mereka sangat harmonis bahkan membuat tetangga mereka iri karena keharmonisannya. Mereka ber-empat setiap sore selalu bermain di taman dekat rumahnya. Ferli terlihat begitu menyayangi adiknya dan Lissa pun terlihat begitu menyayangi kakaknya. Bu’de yang mengasuh mereka (Ira) sangat senang melihat mereka terlihat kompak, bu’de ira pun sangat menyayangi keduanya.
     Ketika suatu saat, Bu’de Ira pun membuatkan keduanya kalung yg terbuat dari bahan emas putih itu mainannya bertulis nama gabungan dari keduanya yaitu “FERLISSA” betapa senangnya mereka dibuatkan kalung seperti itu dan selalu dipakai oleh mereka.
             Pesan dari Bu’de Ira saat memakaikan kalung sangat mereka ingat, yaitu “Kalau Bu’de udah pergi jauh dan tidak akan bertemu lagi sama Feli dan Ica, jangan lupain Bu’de ya. Karena Bu’de pasti akan selalu ingat sama kalian, kalau kalian kangen sama Bu’de, kalian bisa lihat kalung yang ada di leher kalian itu, pakai terus ya agar kalian selalu ingat Bu’de”. “terimakasih Bu’deku sayang, kami sayang Bu’de” serentak mereka menjawab.


 2. Perlahan Masalah Pun Menghampiri


Inilah mereka yang harmonis, romantis dan kompak selalu membuat orang terkadang iri melihatnya. Suatu saat mereka akan berekreasi ke suatu tempat wisata, mereka pergi berlima menaiki sebuah mobil. Tentu saja, yang menyupir adalah Ayahnya, lalu Ibunya, Ferli, Lissa dan ?? bisa tebak siapa satu lagi? Yah tepat sekali, yaitu Bu’de nya yang selalu menyayangi mereka berdua.
Tibalah ditempat rekreasi tersebut, Ferli dan Lissa sedang asik-asiknya menaiki kuda dan Ibunya bersama Bu’de nya hanya tersenyum melihat tingkah lucu mereka berdua.
“Mal, enak yah kamu punya 2 anak satu laki-laki dan satu perempuan yang lucu-lucu sekali! Betapa senangnya aku melihat mereka, andai mereka adalah anakku, betapa sangat kusayang dan kujaga mereka itu” kata Bu’de sambil tersenyum haru.
Ibu Malia hanya bisa membalas senyuman dan sambil berkata dalam hati “Ra, kamu itu bisa mendapatkan anak seperti mereka namun hanya saja keberuntungan itu belum memihak kepadamu. Saya hanya dapat untung saja itu pun kebetulan” Ibu Malia hanya bisa berkata dalam hati karena dia takut berkata-kata karena mungkin kata yang dikeluarkannya itu hanya membuat Bu’de sakit hati saja. Mengapa Bu’de akan sakit hati mendengar kata itu? Karena Bu’de hanyalah seorang wanita yang tak bisa mempunyai keturunan karena suatu penyakitnya.
Hari pun terlihat sudah menjelang sore, Lissa pun meminta pulang kepada ayahnya. Namun, ayahnya masih meminta menunda dulu untuk pulang karena terdengar suara handphone berbunyi di kantung celananya. “siapa yah?” tanya ibunya kepada ayah.
“apa? Oh bukan siapa-siapa hanya rekan bisnis saja” jawab ayahnya dengan terlihat gelisah.
“rekan bisnis? Bisnis apa?” tanya ibu yang terlihat makin penasaran .
“sudahlah, lanjutkan saja permainan kalian itu! Ayah mau ke mushollah dulu, ayah lupa kalau ayah belum solah zuhur” jawab ayahnya seolah menyembunyikan sesuatu.
“oh yasudah kalau mau solat dulu, Ferli ikut ayah sana, kan kamu juga belum solat” ibunya berkata dengan rasa curiga.
“eh kenapa mau ikut? Ayah kan cuma mau solat, ayah tidak kemana-mana lagi?” kata ayah yang menahan marahnya.
“kata Ibu solat dulu baru main lagi. Aku ini belum solat ayah!” bentak ferli kesal karena tidak diajak oleh ayahnya.
“sudahlah, nak! Ayo temani adik kamu itu sayang” dengan sambil menahan kesal dan sedihnya itu Ibu berkata.
Hari pun sudah mulai sore, perlahan tempat rekreasi itu mulai sepi. Sengaja ibu, ia menyuruh Lissa dan Ferli untuk ke mushollah dengan alasan hanya ingin mencuci tangan dan kaki mereka yang sangat kotor itu. Tiba di mushollah, apa yang mereka lihat? Mereka memang melihat ayah, tetapi ayah bukanlah sedang solat melainkan ia sedang bertelponan dengan seseorang. Dengan sengaja, ibu sedang mendengar obrolan ayah dengan yang ayah bilang rekan bisnisnya itu dengan sambil sembunyi-sembunyi. Tetapi apa? Ibu malah seperti menahan air matanya. Apa yang di dengar ibu? Ibu segera berlari menuju tempat dimana mobil di parkir.
Selesai Bu’de dari menemani Lissa dan Ferli mencuci tangan kaki mereka, dengan kaget dan penasaran melihat Ibu menangis, Bu’de langsung bertanya kepada Ibu “Hey Mal! Kamu kenapa? Kamu terlihat ada masalah? Masalah apa Mal?”
“Ra, saya kaget , saya sangat sangat kaget dengan semua ini! Apa yang sedang saya ketahui itu benar atau salah? Saya benar-benar kaget Ra!” jawab ibu yang terkesan sangat sedih.
“Kamu ini kenapa Mal? Saya tidak tahu apa-apa jadi mana saya tahu apa yang akan saya jawab dengan semua pertanyaan membingungkan kamu ini!” kata Bu’de sambil penasaran.
“Ra, sumpah saya kaget dengan semua....” pembicaraan stop, dan Ibu langsung menghapus air matanya itu.
“Ferliii, Lissaaa! Ayo kita pulang Nak! Hari sudah mau malam, kalian belum mandi! Kapan-kapan kita lanjut lagi ya!” terdengar suara ayah dari jauh.
“Ra, saya mau cerita sama kamu. Tetapi, tunggu kita sampai dirumah ya.” Bisik ibu kepada Bu’de.

3. Apa Yang Sedang Terjadi?


Keesokan paginya, ayah langsung pergi kerja “Ayah kerja dulu ya, ayo Ferli, Lissa langsung naik ke mobil! Nanti kalian telambat!” ajak ayah.

“iya hari ini Bu’de gak jagain dulu ya. Kan kalian udah besar, udah bisa dong ke sekolah sendiri.” Kata bu’de. “Hati-hati ya Nak!” lanjut ibu.
“daaa Bu’de, daaa ibuku sayang!” kata Lissa dengan manisnya.
Setelah Ayah, Ferli dan Lissa sudah meninggalkan rumah, langsunglah Ibu bercerita di ruang makan bersama Bu’de. “gimana Mal, ceritanya yang kemarin? Kamu itu kenapa? Buat aku penasaran saja” penasaran Bu’de.
“Apakah kamu ada curiga dengan Ayah sesaat dia berlama di mushollah kemarin?” tanya ibu yang lagi-lagi menahan tangis.
“curiga? Loh maksuh kamu itu kenapa? Curiga bagaimana?” tanya Bu’de bingung.
“Begini, kemarin saat kalian mencuci tangan kaki di belakang mushollah, saya khendak ke mushollah mau ajak si ayah pulang. Saya kira dia lama karena dia tertidur, tetapi dia malah bertelpon sama temannya itu. Saya tidak tahu temannya itu siapa, saya kemarin hanya mendengar pembicaraan mereka yang begitu mesrah, kok sama rekan bisnis harus pake sayang-sayangan lagi?” sambil menangis ibu berkata.
“Mungkin benar apa kata ayah, mungkin itu rekan bisnisnya. Ya, namanya juga entertainer Mal. Oh saya baru kefikiran, atau itu Pak Darwin? Teman bisnisnya Ayah kan selalu Pak Darwin” Jawab Bu’de dengan rasa percaya diri.
“Ah kamu ini Ra! Masa’ sih dia sama Pak Darwin sampai panggilan sayang-sayangan? Yang benar saja kamu ini! Kalau dia penyuka sesama jenis tidak mungkin dia menikahi saya! Kamu ini suka aneh!” jawab ibu dengan kesal.
“Ya Allah bodohnya saya ini! Haha yasudahlah, kamu berfikir positif saja tentang semua itu. Mau bagaimanapun itu tetap suami kamu” kata Bu’de mencoba menyabarkan Ibu.  Ibu langsung masuk kamarnya untuk membersihkan kamarnya lalu dia melihat handphone dibawah bantal tempat ayah tidur, mungkin ayah lupa membawa handphone nya. Dengan diam-diam dia membaca semua pesan singkat yang ada di handphone ayah itu. Tiba-tiba air mata pun bercucuran saat Ibu melihat pesan singkat yang mungkin membuatnya sakit hati.
Dari: Cinda XPd
“sayang, pagi-pagi begini dingin sekali ya. Aku pingin dipeluk aja sama kamu. Aduh kangen kamu mungkin udah 3hari gak ketemu”
Istri siapa yang tidak menangis membaca pesan yang masuk di handphone suaminya yang berisi seperti itu apa lagi dari perempuan lain? “Iraa..” memanggil sambil menangis.
“kenapa Mal? Ya Allah kamu kenapa menangis lagi? Kamu melihat apa lagi Mal?” tanya Bu’de penasaran.
“kali ini aku sudah benar-benar tidak tahan, batinku sakit Ra! Aku benci laki-laki itu yang telah memainkan perasaanku! Kamu baca ini!” jawab Ibu kesal.
“Ya Allah Tony! Kau laki-laki atau bukan? Dimana perasaanmu?” tangis Bu’de. Bu’de pun langsung masuk kamarnya, sambil memandang fotonya bersama Ferli dan Lissa dia menangis dan berkata dalam hati “Lihatlah orang tuamu nak! Sebajing itukan dia? Bagaimana nasibmu? Aku takut kalian akan diejek teman-temanmu karena kelakuan orang tuamu ini.” Bu’de pun makin menangis.
Lalu, Ayah, Ferli dan Lissa pulang kerumah. Sesaat mereka baru ingin memasuki rumah, Ibu langsung keluar rumah sambil membawa tas yang mungkin isinya tidak boleh untuk diketahui oleh Ayah. “Mau kemana sayang? Kita baru pulang kok udah mau pergi lagi?” tanya ayah kepada Ibu.
“Saya mau pergi bentar, asslamu’alaikum.” Dengan cuek Ibu menjawab.
“Ibu mau kemana? Ikut ya.” Pinta Lissa.
“Ibu Cuma bentar kok, tunggu dirumah saja yah sama Bu’de” jawab ibu.


4. Kehancuran Itu Sudah Datang



Setelah ibu pulang, dia lalu langsung masuk ke kamar Bu’de dan langsung seperti ingin bercerita secepat-cepatnya. “Ra, aku sudah daftarkan” kata ibu seperti legah.
“Daftarkan apa?” tanya Bu’de bingung.
“Aku sudah daftarkan ia kepengadilan tinggi agar kami segera bercerai. Aku sudah tidak tahan Ra! Seenaknya saja dia memainkan perasaan orang!” kata Ibu kesal.
“Ya Allah, kamu serius akan meng-akhiri hubungan kalian semudah itu?” tahan tangis Bu’de.
“kalau saya 100% yakin!” seyakin-yakinnya Ibu menjawab.
“Tapi, bagaimana kedua anakmu itu Mal? Mereka masih kecil-kecil, kasihan mereka Mal” Tangis Bu’de.
“Iya, saya juga masih memikirkan mereka Ra, tetapi..” tiba-tiba Ibu langsung memeluk Bu’de sambil menangis. “tapi ya mau bagaimana lagi kalau suami saya seperti itu? Saya ini perempuan yang harus dihargai oleh dia!” lanjut Ibu.
Ketika hari mulai malam, ada suatu pembicaraan didalam kamar Ibu yang terdengar oleh Bu’de dari luar kamar. “Yah, saya mau cerai saja sama kamu. Saya tidak tahan, kamu itu permainkan saja perasaanku. Kurangku kepadamu apa? Teganya kamu sampai tidak cukup hanya dengan satu istri saja.” Ucap Ibu sambil menangis.
“loh? Maksud Ibu itu apa? Saya ini 100% setia sama kamu sayang! Kamu kenapa ngomongnya kok gitu?” ayah yang terlihat mengelak dari masalah ini.
“sudah-sudahlahh kau tak mau jujur juga! Kau buat saya emosi, kau itu sudah punya seorang istri dan 2 anak! Apa itu masih kurang? Hah? Aku tau semua aktivitasmu diluar sana! Kamu tidak usah membela diri, Cinda yang kau katakan rekan bisnis itu siapa? Siapa?? Bisnis apa? Bisnis kawin lagi? Hah begitu? Emosi ku melunjak kau buat! Aku sudah tulus sayang kepadamu, tapi beginikah balasan darimu? Dasar kau laki-laki jahanam!” jawab ibu yang sangat marah dengan sambil menangis. “besok ikut saja saya ke pengadilan tinggi, saya benar-benar tidak betah sama kamu. Jangan panggil aku “Ibu” atau “Sayang” lagi. Aku sudah muak dengar kata-kata itu!”lanjut Ibu.
Sesaat sidang perceraian selesai, Ibu pun segera ingin meninggalkan rumahnya dan segera membereskan barang-barangnya dan barang-barang Lissa. Betapa kasihannya mereka berdua yang masih kecil tidak mengerti apa-apa tiba-tiba melihat orang tua mereka pisah rumah. “Ibu mau kemana? Lissa ikut ya?” tanya Lissa polos.
“Ibu mau pergi Nak. Iya kamu ikut Ibu saja, kita pergi bertiga sama Bu’de.” Jawab ibu dengan senyum haru.
“Kak Ferli ikut kan?”
“tidak, biarkanlah kakak sama ayahmu saja dirumah” jawab ibu.
“Tapi Ferli mau ikut Ibu aja, gak mau ikut Ayah” rajuk Ferli.
“Ferli sama Ayah dong!” kata ayahnya sambil tersenyum.
“Gak mau! Aku mau ikut Ibu, mau sama adek gak mau sama papa! Pokoknya gak mau!!” teriak Ferli sambil marah.
Tangan Ferli dan Lissa pun selalu berpegangan seolah tak mau lepas lagi dan Lissa pun langsung di tarik tangannya oleh Ibu dan langsung digendong Ibu. Ferli pun tangannya ditarik kencang oleh Ayahnya, tapi Ferli tetap menolak sampai itu Ferli ditampar oleh Ayahnya dengan dilihat oleh Lissa, Lissa pun menangis kencang sambil memanggil nama Kakaknya. Keduanya menangis sangat kencang. “Adek!!! Sini dek, Ibu!! Sini Bu!! Kakak mau sama kalian. Ayah jahat sama kakak!” kata-kata yang keluar dari mulut Ferli itupun sangat membuat Ibunya menangis.
Setelah jauh berjalan, Ibu pun memilih untuk menaik kendaraan umum saja agar cepat mendapat tempat tinggal. Di dalam kendaraan umum tersebut, Lissa masih menangis sambil memegang kalung dari Bu’denya tersebut. Di dalam mobil Lissa terus dan terus memanggil nama kakaknya yang sangat ia sayang. Mungkin benar apa kata Bu’denya dulu, mereka memang tidak bisa dipisahkan, kalau dipisahkan pun ya begini jadinya sangat haru apabila dilihat.

5. Inikah Yang Selalu Membuat Orang Iri

Akhirnya Ibu, Bu’de dan Lissa telah menemukan tempat tinggal yang baru setelah lama mencari. Tempat tinggal ini memang tak semewah tempat tinggal ia dulu yang besar, luas, tampak elit, mempunyai banyak kamar dan tipe-tipe rumah orang kaya. Sekarang mereka tinggal hanyalah di sebuah kost-an yang kecil, mempunyai kamar satu dan ya tapi bisa dibilang itu cukup layak untuk menjadi tempat tinggal yang baru.
Bu’de ingin berusaha menghibur Lissa yang terus-terusan sedih akibat pisah dengan kakak kesayangannya. Bu’de mencoba membuat Lissa akan lupa dengan Ayahnya dan Kakaknya.
Setelah 1bulan berlalu terlihat mungkin Lissa telah melupakan kakaknya. “Inikah yang selalu membuat orang iri? Keluarga hancur akibat adanya orang ke-3? Kasihan anak-anak kecil ini, apa yang mereka fikirkan tentang ini?” ucap Bu’de dalam hati sambil menangis. “Dahulu memang membuat orang iri, tetapi sekarang apa? Kita malah dibuat orang iri karena keawetan rumah tangga mereka” lanjut Bu’de sambil melihat foto keluarga Ayah Santoni.

10 tahun kemudian

Lissa kini berusia 15tahun, dan dia bersekolah di salah satu sekolah negeri. Mungkin di sekolahnya dia adalah anak yang sterbilang istimewa akan kepintarannya bahkan guru-guru pun hanya terpaku pada satu murid yang sangat pintar ini. Sedangkan Ferli, kakak kandungnya berusia 17tahun, dia baru lulus SMA dan akan melanjutkan kuliahnya ke Singapura. Ferli sekarang telah mempunyai Ibu yang baru, bernama Cinda. Ya orang itu adalah penghancur hubungan Ayah dan Ibu Ferli dan Lissa. Keluarga Ferli yang baru sangatlah kaya, terkenal dan disegani oleh orang-orang sekitarnya.
Sedangkan keluarga Lissa, hanyalah keluarga yang sangat sederhana. Bahkan, Bu’de sekarang hanyalah menjadi seorang pembantu rumah tangga dirumah tetangganya. Ia menjadi pembantu hanyalah untuk menambah biaya makan ataupun bayar kost-an agar Ibu tidak terlalu berat untuk membayar semuanya.
Di sekolahnya pun, Lissa sangat disayang oleh teman-temannya. Dia mempunyai begitu banyak teman karena sifatnya yang baik, ramah,tidak sombong dan penyayang. Sedangkan Ferli, dia sudah mengikuti jejak ayahnya menjadi entertain muda di palembang, sifatnya sekarang berubah dia sekarang menjadi pemarah, sombong. Karena Ferli sudah merasa hebat dan kaya, dia bahkan rela meninggalkan bangku kuliahnya.


6. Mereka Tidak Akan Sekompak Dulu


Mungkin karena Ferli sudah kaya dan sombong, dia sudah tidak akan ingat lagi dengan adiknya. Tapi, masihkah dia memakai kalung pemberian dari Bu’denya itu? Iya, ia masih memakainya sampai sekarang. Begitupun juga Lissa yang selalu memakai kalung itu tetapi berbeda dengan Lissa, ia kadang iri apabila melihat teman-temannya masih suka bercanda tawa dengan kakaknya di depan hadapan Lissa. Ferli sekarang telah memiliki adik baru, adiknya adalah anak dari Ayah dan Ibu tirinya itu bernama Izka Pricilla. Adiknya perempuan berusia 9tahun, duduk di bangku SD swasta yang terkenal dan sangat mahal itu. Izka juga berprofesi menjadi model di salah satu majalah anak.
Apakah Lissa akan sangat sedih melihat bahwa kakaknya telah mempunyai adik baru lagi? Lissa terkadang tiap malam merindukan kakaknya, pasti ia akan selalu berfikir bahwa kakaknya tetap seperti dulu yang ramah, tidak sombong dan sangat penyayang. Namun, tebakan Lissa sangat salah! Apa yang dilakukan Lissa bila bertemu dengan kakaknya?
Lissa sering kali cerita kepada Bu’denya, kalau ia selalu merindukan kakaknya. Tetapi Bu’de tau dan hanya berkata “sudahla, kau tak usah fikirkan dia lagi. Belum tentu dia memikirkanmu. Biasanya, kalau kakaknya akan selalu sayang sama adiknya, pasti kakaknya akan berusaha mencari adiknya, namun sekarang apa? Tidak sama sekali kan? Sudah, lupakanlah. Banyak orang yang lebih menyayangimu seperti Ibu, Bu’de, Guru-gurumu bahkan semua teman-teman mu”
“Tetapi Bu’de tau kan? Aku sangat rindu saat masa-masa kami bersama.” Jawab Lissa sambil menahan tangis. “Aku ingin kami bertemu, aku ingin kami selalu kompak” lanjutnya.
“Lissa, dengarkan kata Bu’de, kalian tidak mungkin akan bersatu lagi, tidak akan! Apa yang kamu fikirkan tentang akan bersatu lagi? Dia pasti sudah lupa dengan kamu.” Usaha Bu’de untuk menyabarkan Lissa.
Untuk berusaha tenang, dia pun istirahat dan tidur dulu. “Ingat kata Bu’de, kakak tuh gak pernah mikirin aku. Kakak tuh pasti lupa sama aku! Ngapain aku tangisin orang yang gak peduli sama aku? Aku gak punya kakak.” Lissa berkata sendiri dikamar sambil menahan tangis.

7. Asmara Lissa Pun Kini Mulai Terlihat

Keesokan harinya, Lissa langsung pergi sekolah namun apa yang terjadi? Lagi-lagi dia dibuat iri oleh temannya. “Sabar.” Kata Lissa dalam hati saat melihat temannya diantar oleh kakaknya. Tiba dikelas, ia belajar dengan senang, dia sangat aktif dalam kelas itu sehingga ada seorang teman laki-laki yang menyukainya karena kepintaran dan keramahannya. Namanya, Rio. Dia anak laki-laki yang ramah, dan soleh. Ternyata, Lissa juga menyukainya karena kesolehannya. Tetapi, mereka hanya sebatas teman belajar saja. Lissa tidak mau lebih dekat dengan Rio karena nanti hanya akan mengganggu konsentrasi belajar Lissa.
Sesaat pulang sekolah, ia ditawarkan oleh Rio untuk pulang bersama, kebetulan Rio juga kesekolah membawa sepeda motor. “Hey Lissa, Pulang dengan siapa?” tanya Rio.
“Hay, aku pulang sendiri” jawab Lissa sambil tersenyum.
“Naik apa? Ikut aku aja yok!”bujuk Rio.
“Naik bus, oh gak usah. Makasih ya Rio sudah menawari. Lain kali saja” jawab Lissa.
“yasudah, kamu hati-hati ya pulangnya. Aku pulang duluan ya!” kata Rio.
“iya” jawab Lissa sambil senyum.
Tiba dirumah, Lissa cerita lagi dengan Bu’denya. “Bu’de, aku tadi ditawari teman aku untuk pulang bersama dia naik motornya. Haha, tapi aku nolak karena takut nanti Ibu marah dengan ku karena sudah berani berbonceng dengan laki-laki hehe” cerita Lissa sambil tertawa geli.
“loh? Kok ceritanya ketawa-tawa gitu ya? Kamu suka ya sama temen kamu itu? Aduh udah mau menjelang remaja ini anak haha.” Jawab Bu’de sambil tertawa mengejek.
“ah Bu’de! Aku gak suka sama dia tuh, Cuma..”
“Cuma cinta aja. Ya kan? Hahaha anak Bu’de yang ini emang bikin gemes” potong Bu’de saat Lissa belum menyelesaikan pembicaraannya.
Karena tak bisa menahan malunya, Lissa meninggalkan Bu’de dan dia langsung ke kamarnya sambil tertawa geli.


8. Ferli, Apa Kabar Kamu?

Ferli kini telah menjadi aktor, dia kini sedang membintangi suatu film di kotanya. Dia kini telah mempunyaibanyak penggemar dan sangat disukai oleh kaum wanita di sekitar rumahnya.
Tiba saat Ferli di wawancarai oleh sebuah stasiun televisi dikotanya, ia berkata bahwa ia berasal dari kota Palembang, Ayahnya bernama Santoni dan Ibunya bernama Cinda dan adiknya bernama Izka. Dia mengatakan sangat senang dengan keluarganya. Bagaimana perasaan Ibu kandungnya mendengar kabar itu? Apakah akan sangat sedih?
Saat itu, Bu’de sedang menonton acara dimana Ferli di wawancarai itu. Bu’de langsung mengingat kembali wajah Ferli waktu kecil dan wajah orang yang ada di tv itu. Ketika pewawancara menanyakan “mengapa Ferli selalu memakai kalung yang bertuliskan “FERLISSA”itu?” Bu’de langsung yakin bahwa itu adalah Ferli, anak yang dulu diasuhnya. Mendengar pertanyaan dari pewawancara itu, Ferli hanya menjawab “Oh, kalau kalung ini pemberian dari mantan kekasih saya dulu. Ferlissa ini adalah gabungan nama saya dan dia yaitu Ferli dan Anissa.” Mendengar jawaban dari Ferli itu, Bu’de pun langsung menangis, karena Ferli tidak mengakui bahwa itu adalah kalung pemberian Bu’de nya dan juga tidak mengatakan bahwa FERLISSA itu adalah gabungan namanya dan nama adiknya.
Mendengar kabar bahwa Ferli sekarang telah menjadi aktor, Bu’de senang tetapi sedikit kesal karena tidak mengakui semua keluarga kandungnya. Bu’de pun tak ingin memberi tahu pada adik kandungnya bahwa ia kini telah mendengar kabar Ferli karena Bu’de takut Lissa hanya akan sakit hati dan sedih saja.
Keesokan harinya, Bu’de mencoba mencari alamat rumah Ferli di Jakarta tanpa diketahui oleh Ibu dan Lissa. Setelah 4hari mencari, akhirnya Bu’de mendapatkannya. Langsung saja dia menuliskan surat untuk Ferli.

Kpd Yth: Anandaku tercinta, Ferli Raditya

Apakabar Nak? Masihkah engkau mengingatku? Pengasuhmu saat kau masi kecil? Bagaimana keadaanmu sekarang? Enakkah tinggal bersama Ibu Barumu itu?
Nak, taukah engkau bahwa adik kandungmu disini selalu merindukan kehadiranmu? Ibumu disini selalu menangisi dan memikirkan keadaanmu sekarang? Kembalilah nak, sesungguhnya engkau akan lebih nikmat bila tinggal bersama orang-orang yang sangat mencintaimu.
Dan Bu’de ingin bertanya pada engkau, kenapa kau mengatakan kepada orang-orang lain kalau kalung bertulis FERLISSA dari kekasihmu? Tapi kau tau kan, itu sebenarnya kalung dari Bu’de mu dan itu hanya ada di leher kau dan adik kandung mu? Tolonglah nak, jangan lupakan kami. Kembalilah, kami merindukanmu..

Tanpa ragu, Bu’de pun langsung mengirimkan surat itu ke alamat yang telah di dapatkannya itu. Setelah seminggu menunggu balasan, akhirnya surat itu pun dibalas namun tak seperti yang di inginkan.

Kpd Yth: Ibu Ira

Maafkan saya, bukan saya menyombongkan diri tetapi anda itu siapa? Saya memang punya pengasuh waktu saya kecil namun pengasuh saya saat ini telah meninggal. Ibu baru? Maksud anda apa? Saya memang terlahir dari rahim ibu saya ini jadi tolong anda perbaiki lagi kata-kata yang salah itu.
Saya memang mempunyai adik kandung, bernama Izka bukan Lissa. Dia selalu bersama saya. Ibu saya juga selalu bersama saya, jadi buat apa mereka merindukan saya lagi?
Kalung ini memang dari mantan kekasih saya bukan dari pengasuh saat saya kecil. Jadi, tolong anda check lagi alamat yang ingin anda kirimi surat itu jangan sampai salah alamat lagi ya. Maaf, saya tidak mengenali anda. Sekian dan terimakasih.

Sambil membaca balasan dari Ferli itu, dia sangat menangis dan kesal melihat tingkah Ferli yang begitu sombong dengannya. Lalu dibalas lagi oleh Bu’de yang semakin marah mendengar kata itu.

Hay nak! Tolong kamu jangan durhaka. Kau tidak mengakui Ibumu sungguh keji perbuatan kamu itu!
Saya sudah murka dengan kau! Kalau saya tau akhirnya begini, saya tidak akan menyuapimu nasi, menjemputmu sekolah, menemani mu saat kau sakit. Saya sangat menyesal, dan mulai saat ini terserah bagaimana keadaanmu! Mentang-mentang kau sudah jadi artis seenaknya kau berkata! Semoga keluarga barumu itu mendapatkan balasannya terutama untuk kau dan ayahmu itu!

Setelah dikirim surat seperti itu, Ferli tidak membalas-balas surat itu lagi. Sesaat diwawancari lagi dalam sebuah acara, Ferli mengatakan akan roadshow filmnya di kota kelahirannya yaitu Palembang, dan akan menetap disana. Mendengar kabar itu, Bu’de pun langsung tak sabar ingin menemuinya.

9. Apakah Itu Kakakku?

Ternyata Ferli akan roadshow tepat dimana Lissa bersekolah. Saat roadshow, banyak sekali yang menggemari Ferli di sekolah Lissa. Ketika Ferli sedang berfoto-foto dengan fansnya, salah seorang sahabat Lissa yaitu Revi langsung memanggil Lissa yang sedang berada di kantin dan memberitahukannya “Alissa! Kak Ferli artis itu ya, punya kalung persis sama kayak kamu sumpah! Dulu kan kamu pernah bercerita kalau nama kakak kandung kamu itu Ferli dan punya kalung sama persis dengan kamu!” kata Revi tergesah gesah.
“Ha? Ferli? Ada dimana dia sekarang? Kamu kenapa baru kasih tau! Cepat cepat aku mau lihat dia. Aku mau bicara sama dia!” kata Lissa yang sangat penasaran.
“di lapangan! Cepat!!” kata Revi tergesah-gesah.
Mereka berdua pun langung lari ke lapangan sambil mencari dimana Ferli itu. Saat Lissa sudah bertemu dengan Ferli, Lissa pun langsung menarik tangan Ferli dan sambil berkata “Kakak! Ini aku kak, Lissa! Ini kalung kita waktu kecil, aku juga memakainya. Kakak apa kabar sekarang? Kakak udah ngetop ya. Kakak sumpah aku kangen kakak, tinggal dirumah Ibu ya kak sama aku!” kata Lissa menangis sambil memegang kalungnya.
“maaf ya Lissa, hehe mungkin kamu salah orang. Maaf ya” kata Ferli sambil tersenyum.
Mendengar kata itu, Lissa makin menangis dan tetap berusaha mengingatkan kalau ia itu adalah adiknya “kak, ini Lissa kak! Kakak inget kan? Kita waktu kecil gak bisa pisah kak. Ini kalung dari Bu’de. Kakak inget kan? Aku adik kamu kak!” Lissa mengulang sambil menangis.
Namun yang dikatakan oleh Ferli hanya “hehe, maaf ya.” Mendengar itu Lissa makin sedih dan makin menangis.
Setelah pulang sekolah, dia langsung bercerita kepada Ibunya. Tiba dirumahnya ia langsung memeluk Sang Ibu sambil berkata “Ibu, tadi Lissa ketemu Kakak bu. Dia gak kenal lagi sama Lissa, dia sombong!”
“ketemu? Kok bisa? Mana mungkin.” Kata ibunya yang tak percaya “Mungkin kamu salah orang saja.” Lanjut ibu.
“Lissa serius Bu! Dia gak mengenal Lissa lagi bahkan tidak mengenal Ibu lagi. Aku yakin bu, itu adalah kakak. Dia pakai kalung yang dikasih oleh Bu’de. Bu, aku sedih lihat dia seolah gak kenal lagi sama kita. Bahkan, saat Lissa menangis di sekolah tadi, Lissa dibilang orang gila lah, sok kenal lah oleh temen-temen Lissa” ucap Lissa sambil menangis.
Mendengar itu, Bu’de pun langsung menyambung pembicaraan Lissa dan Ibu “Ferli? Halah, tak usah diharapkan orang sombong seperti itu. Memangnya manusi di dunia ini cuma satu? Cuma dia? Semoga dia dapatkan balasannya!” sambung Bu’de dengan kesal.
“sudahlah sayang, buat apa kamu menangisi dia? Apa dia menangisi kamu? Tidak kan! Biarkanlah Allah yang membalas semua ini. Karma itu sangat berlaku di dunia ini apa lagi bagi orang yang tidak tau diri.” Kata ibu untuk menenangkan Lissa.
Lissa kini mulai agak sedikit tenang karena ia percaya dan yakin apa yang telah Ibu katakan kepadanya itu benar. “karma itu sangat berlaku bagi orang yang tidak tahu diri”
Disaat di sekolah, Lissa pun bercerita kepada Rio dan Revi tentang Ferli tidak mengenalnya lagi. “sudahlah sa, orang yang kaya itu nasib nya tidak akan selalu nikmat dan baik. Biarkanlah dia hidup dengan jalannya sendiri.” Kata Revi untuk memberi semangat agar tidak mengingat Ferli lagi.
“Ngapain sedih? Biarin aja kali, kan masih ada Rio yang selalu sayang sama Lissa. Hehe” hibur Rio.
“ciee, ehm. Kayaknya aku cuma jadi obat nyamuk aja deh disini” hibur Revi.
“hahaha, apa-apaan sih kalian? Eh tapi makasih ya dukungannya. Makaish banget, kalian sahabat terbaik aku.” Kata Lissa sambil senyum haru.
“iya sama-sama. Doain aja biar dapat karma tuh si Ferli!” kata Revi sambil kesal.
Mendengar itu, Lissa pun hanya tertawa saja. Namun, di fikirannya dia tidak ingin terjadi apa-apa pada kakaknya, karena dia masih mempedulikan kakaknya.


10. Karma Itu Sangat Berlaku Bagi Orang Yang Tidak Tahu Diri!
 
Disisi lain, Lissa masih mempedulikan kakaknya. Namun, apa boleh buat? Tingkah kakaknya kepada Lissa pun seperti itu. Mungkin bisa dibilang Ferli adalah “Kacang lupa kulitnya”

6 bulan kemudian

Terdengar kabar bahwa keluarga Ferli dalam keadaan hancur-hancurnya. Ayahnya berselingkuh dengan artis lain lagi, sedangkan Ibunya terlibat dalam pesta narkotika. Mendengar kabar itu, Bu’de pun sangat legah dan sangat bersyukur atas itu. Memang tidak boleh bersenang saat keluarga masih dalam situasi menyedihkan, tetapi ya sifat Ferli dengan mereka telah begitu berbeda. “Ibu, kasihan ya kakak. Mau lari kemana lagi dia?” kata Lissa dengan rasa peduli.
“orang seperti itu tidak pantas untuk dipedulikan. Biarkanlah saja dia, sudah dibilang karma itu berlaku mengapa masih bertingkah tak wajar dengar keluarga kandungnya sendiri.” Kata Bu’de dengan kesal.
“iya Nak, biarkan saja dia. Kita sedang susah apa dia peduli? Tidak kan. Jadi jangan pedulikan dia lagi.” Kata Ibu yang ikut kesal.
“iya tapi..”
“sudah, tak usah difikirkan.” Kata Ibu yang tetap tidak peduli dengan Ferli.
Dan akhirnya dalam sebuah acara talk show, Ferli mengakui menyesal telah menyia-nyiakan 3orang yang telah mengaku masih satu darah dengannya. Tetapi Ferli tidak menyebutkan siapa orang itu. Saat Ferli menemukan sebuah foto ia sewaktu kecil dengan Lissa, Ibu, Bu’de dan Ayahnya itu, barulah ia sadar bahwa yang selama ini mengaku menjadi Ibunya, Adiknya sekalipun Bu’de nya itu benar namun bagaimana? Dia telah malu untuk menyadari kedua kalinya lagi. Ia pun hanya bisa menangis dalam hati mengingat keluarga barunya telah hancur dan keluarga ia sebenarnya telah ia sia-sia kan.

THE END