Chatur Rahma's
January, 16th 1998. Litle child of H. Harison Husin & Hj. Halijah. I'am 14. A music listener, movie watcher & sure a DREAMER :-)
Sabtu, 29 September 2012
29 September 2012
Hai!
Sekian lama ga nge-post akhirnya nge-post juga ya gue sorry sorry gue lupa pswrd akun gue nih soalnya huftttttt:-(
Belum ada cerita baru nih, kapan-kapan yaa soalnya lagi sibuk belajar banget, kan mau jadi anak yg pinterrr huehehe;-3
udah deh gitu dulu, gatau mau ngomong apaan. Curhat? Ga ada yg mau dicurhatin hihi
Eh yadeeehh cuma mau bilang, gue dapet temen-temen baru yg super duper luar biasa enaknya;3 gue punya temen baru bukan berarti gue lupa ya sm temen lama. Ga kok, temen lama inget semua;) udah deh gitu aja, mata ngantuk babayyy
Follow deh follow twitter calon orang sukses (aamiin) satu ini: @ChaturRahma
Peace, love and gaul:):):)
Sabtu, 30 Juni 2012
LUKISAN UNTUK PAPA
1. Namaku Fika
2. Saat Awal Aku Menyukai Melukis
3. Aku Yakin, Aku Bisa!
4. Mungkin, Mungkin Itu Pasti.
5. Dia Sama Sepertiku
Ketika pulang sekolah, aku diajak oleh Bu Safira mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, kebetulan juga aku ingin sekali tahu rumahnya. “bentar ya, Bu. Aku minta izin dulu sama papa.” Kataku sebelum khendak pergi kerumah Bu Safira. Kemudia aku menelpon papa menggunakan telepon umun yang ada di depan sekolah ku. “Assalamu’alaikum Pa. Ini fika, Pa.”
Hai,
namaku Rafika Larani dan biasa dipanggil Fika. Aku mempunyai satu kakak
perempuan bernama Ekha Apsanie, ia biasa dipanggil Ekha. Mamaku bernama
Hanifah ia bekerja sebagai dokter. Papaku bernama Jhon Zauhari, ia
bekerja sebagai Dosen di sebuah universitas negeri di daerahku. Aku
senang dengan mereka, senang sekali karena aku yakin aku pasti akan
dimanja karena aku paling kecil dirumahku hehe..
Aku
masih kelas 2smp dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang
tidak jauh dari rumahku. Kakakku sekarang sudah kelas 2sma dan ia
bersekolah jauh dari rumah. Kakak bersekolah disana karena ia mendapat
beasiswa dari sekolah itu karena memang dari kecil dia sangat
berprestasi beda hal nya dengan aku, aku adalah gadis kecil yang bodoh,
kurang pergaulan, dan tidak tahu apa-apa..
Kakak
selalu diantar-jemput oleh Mama, aku jalan kaki saja kok hehe. Tetapi,
apabila kami sedang berkumpul ria, aku terkadang iri melihat kakak yang
selalu dibanggakan oleh Mama. Ya, pantas dan wajarlah ia membanggakan
kakak, karena kakak itu memang anak yang sangat cerdas. Aku bangga
mempunyai kakak seperti kak Ekha.
2. Saat Awal Aku Menyukai Melukis
Disekolah
ku, aku mengikut tiga sekaligus ekstrakulikuler yaitu basket, PMR dan
Seni Lukis. Tahukah kalian teman, dalam semua bidang ekstrakulikuler
yang aku ikuti ini, tidak ada yang sangat aku bisa. Aku termasuk anak
kaku untuk bekerja seperti itu. Mungkin kalian akan tertawa geli bila
melihatku yang culun, kaku, tidak bisa apa-apa tetapi mengikuti tiga
sekaigus ekstra kulikuler disekolah, hahaa..
Tetapi
aku merasa aku sangat disayangi oleh guru-guru yang mengajarku entah
mengapa aku merasa begitu apa lagi Ibu Safira, guru yang mengajari kami
dalam bidang Seni Lukis ini sangat peduli denganku. Dia yakin, bahwa
tanganku pasti bisa menciptakan suatu karya seni yang luar biasa.
Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum sambil menahan tawa. Ya bayangkan
saja, apa yang aku bisa dengan tangan-tangan kaku ini?
Beberapa
minggu kemudian setelah aku giat mengikuti ekskul ini, aku sangat
menyukai Lukis ini. Aku latihan melukis lebih giat bukan karena
keluargaku sangat mendukung, melainkan guruku itulah yang sangat memberi
semangat yang ekstra. Karena itulah, aku yakin aku bisa! Aku tidak akan
mengecewakan orang yang telah memberikanku semangat lebih dari Ibu
Kandungku.
Ketika
ada suatu lomba melukis, aku diajak oleh Ibu Safira untuk mengikutinya
tetapi aku menolak. “waah Ibu kalau mau bikin smp kita menang jangan
pakai aku, Bu. Aku gak bisa apa-apa. Jangan aku yah, Bu! Aku bakal malu
kalau Ibu ngajak aku.” Aku sudah berkata sambil menolak seperti itu,
tetapi Ibu Safira masih saja mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba
melukis ini. Ya, aku hanya bisa pusing dan tidak bisa berbuat apa-apa
lagi sebelum lomba itu. Namun aku yakin, dibalik sebuah usaha pasti ada
hasil yang memuaskan.
Ketika
sudah lomba, apa yang aku fikirkan itu jadi tidak karuan semua karena
terlalu pusingnya aku. Rasanya ingin cepat-cepat pulang, tidak mau
mendengar pengumuman siapa yang akan menang. Kak Monica, kakak kelasku
sudah sangat yakin bahwa dia akan memenangkan lomba ini dan dia selalu
menertawakan aku karena kemampuanku yang belum seberapa tapi sudah
diikuti lomba tingkat kota. Kak Monica emang pernah menyumbangkan piala
juara 3 lomba melukis tingkat kota tahun kemarin, mungkin karena itulah
dia menjadi terlihat sombong, angkuh. Ya, tapi mau bagaimana lagi dia
adalah kakak kelasku, aku tidak bisa melawannya karena aku takut akan
terjadi apa-apa denganku.
Ketika
pengumuman pemenang diumumkan, aku sudah sangat takut, malu, keringat
dingin, dan rasanya ingin menangis. Juara 3sudah diumumkan dan aku makin
kecewa. “yah, juara 3 saja lukisannya sebagus itu. Mustahil sekali aku
untuk menjadi juara. Ah biarin deh yang penting pengalaman dulu.” Namun
saat aku berkata seperti itu, Ibu Safira malah memarahi aku dan
menyuruhku tetap optimis. Tapi bagaimana, rasa kecewa itu sangat
mendalam dihatiku ini. Juara 2 akan diumumkan dan? Waw! Apa yang
terjadi? Apakah aku bermimpi? Ya Tuhan, terimakasih atas semua ini. Aku
juara 2? Ah aku benar-benar bermimpi? Tidak! Aku tidak bermimpi. Betapa
senangnya aku, rasanya seperti mimpi indah yg tidak akan kulupakan,
tetapi saat itu aku tidak tidur dan tidak bermimpi.
Saat
kami akan pulang, semua anak yang mengikuti lomba itu memberi selamat
kepada sang juara-juaranya, tetapi beda halnya dengan Kak Monic. Dia
tidak memberikanku selamat, atau pujian sama sekali. Saat di bus, Kak
Monic menangis disamping Bu Safira sambil marah-marah dan berkata “Juri
tahun ini memang benar-benar buta! Beda dengan juri tahun kemarin yang
memang sudah benar, sudah ada bakat untuk menilai hasil lukisan
seseorang. Buta! Mereka buta semua!” mendengar itu aku hanya diam tidak
berani berbicara apa-apa, dalam hati ku hanya berkata “Sudahlah, ini
memang bakatku dengan kemampuanku dan semangat dalam hatiku. Aku tidak
curang, aku menang karena aku memang benar.” 3. Aku Yakin, Aku Bisa!
Setelah
sampai dirumah, aku langsung memberi tahu Mama, Papa dan Kakak bahwa
aku telah menang dalam lomba ini, Papa sangat senang mendengar kabar
itu, namun beda hal-nya dengan Mama. Respon yang mama berikan saat aku
mengatakan bahwa aku telah menang biasa
saja. Tak ada rasa bangga, malahan dia mengatakan bahwa menang dalam
lomba melukis itu adalah hal yang sangat biasa karena itu cocoknya untuk
anak-anak kecil bukan anak-anak se-usiaku seperti ini. Mendengar itu
aku hanya bisa diam dan menahan sedih. Mungkin kritik dari ibu itu cocok
untukku jadikan sebagai pendorong semangatku agar aku lebih giat
berlatih, lebih sering belajar melukis seperti ini. “aku yakin aku
bisa!” mungkin aku terlalu sakit hati melihat Mama berkata seperti itu,
namun aku akan tunjukkan kepadanya bahwa aku pasti bisa!
Karena
aku terlalu pusing, terlalu memikirkan perkataan Mama, aku mulai
membuat banyak-banyak tulisan “AKU YAKIN AKU BISA” dari kertas warna
yang lalu akan aku tempelkan pada semua sisi sudut kamarku. Sekarang
lihatlah kamarku, penuh dengan tulisan seperti itu. Setiap kali aku
mengundang temanku kerumah dan bermain di kamarku, mereka selalu
bertanya “untuk apa kau membuat ini?” dan aku selalu menjawab, “itu
adalah doa. Setiap orang yang membaca ini maka aku sangat berterimakasih
dengan mereka karena mereka telah mendoakanku supaya aku bisa.”
Teman-temanku hanya bingung dan aneh mendengar jawabanku. “aku serius!”
aku mengulangi perkataanku tadi agar mereka benar-benar percaya
denganku.
Saat
itulah setiap aku bangun dari tidur, aku langsung membaca kata itu. Aku
harus bisa, aku yakin aku bisa! Aku akan berusaha sendiri, berusaha
sebisa mungkin untuk membahagiakan Mama & Papa. Aku ingin mengikuti
jejak kakak ku yang selalu bisa membahagiakan Mama & Papa. Dia bisa,
kenapa aku tidak? Aku yakin aku bisa!
Setiap
kali aku latihan melukis disekolahku, selalu aku perhatikan bahwa yang
selalu mengasih semangat ke aku itu Papa. Tapi, apakah ada Mama selalu
mendukungku? Tidak! Aku tidak pernah melihat dia memberikanku semangat
dan dukungan untukku. Iya, pastinya kalian tahu apa yang aku rasakan.
Betapa sedihnya aku.
Sering
kali aku berfikir bahwa “apakah aku bukan anak kandung dari Mama?” aah
kenapa aku selalu berfikir negatif. Tapi pertanyaan itu selalu ada di
benakku. Yang selalu aku fikirkan, mengapa Mama lebih mendukung semua
kegiatan Kak Ekha dari pada aku. Aku tau itu, aku tau Kak Ekha memang
lebih unggul prestasi dari pada aku. Tetapi, setidaknya Mama juga harus
memberi dukungan kepadaku, walau sedikit tetapi itu harus ada. Ya,
kalian tau kalau aku memang iri. Aku seperti kehilangan kasih sayang
dari seorang Ibu, itu sempat membuatku putus asa dalam hidup. Tetapi ya
bagaimana, aku tidak bisa membenci Ibuku sendiri bagaimanapun juga sifat
dia terhadapku, dia tetap Ibuku.
Hanya
dialah yang bisa membangkitkan semangat hidupku lagi. Benar, dia adalah
Papa. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya, dia selalu memberikanku
kasih sayang yang super besar. Dia selalu menjagaku, disaat aku sedih
tempat ku untuk mencurahkan perasaanku hanyalah dia walau dia laki-laki,
tetapi aku selalu bertanya tentang keadaan wanita dengannya sehingga
dia seperti Mama.
Aku
tidak ingin lagi berfikir tentang negatif karena aku yakin itu semua
salah dan tidak benar. Terimakasih ayah atas semua perhatian dan kasih
sayang yang kau berikan, suatu saat aku pasti akan membalas ini walau
kubalas hanya dengan sebuah nilai yang kecil bagimu tetapi itu suatu
usaha terbesar bagiku. Aku berjanji akan membuatmu senyum bahagia,
senyum bangga terhadapku! Percayalayh Pa! Aku berjanji, percayalah!
Ketika pulang sekolah, aku diajak oleh Bu Safira mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, kebetulan juga aku ingin sekali tahu rumahnya. “bentar ya, Bu. Aku minta izin dulu sama papa.” Kataku sebelum khendak pergi kerumah Bu Safira. Kemudia aku menelpon papa menggunakan telepon umun yang ada di depan sekolah ku. “Assalamu’alaikum Pa. Ini fika, Pa.”
“oh dengan Fika. Kenapa sayang?”
“Pa, boleh nggak Fika pulang sekolahnya langsung kerumah Bu Safira”
“memangnya ada acara apa?”
“gak ada, Pa. Cuma ingin berkunjung aja kok”
“ya sudah. Tapi hati-hati ya. Pulangnya gimana?”
Aku
sempat diam dan berhenti bicara, lalu bertanya sama Bu Safira bagaimana
aku pulangnya? “tidak apa-apa. Nanti Ibu antar saja kerumahnya, yah.”
Jawab Bu Safira dengan tenang. Lalu aku melanjutkan percakapanku dengan
ayah dan terimakasih aku diizinkan untuk berkunjung ke rumah Bu Safira.
Kami
kerumah Bu Safira naik Bus,karena aku pertama kalinya keluar dengan
orang yang bukan keluargaku tentu tetap takut walau sekalipun itu guru
terbaikku karena pesan Papa selalu berhati-hatilah dengan orang yang
tidak kenal dekat olehku.
Cukup
jauh teman perjalanannya, aku pun mual-mual di Bus karena ga tahan.
Ketika sampai di rumah Bu Safira aku merasa puas sekali karena rasa mual
ku di Bus terbayar karena baru sampai depan pagar aku sudah menikmati
taman yang penuh dengan bunga-bunga kesukaanku.
Ketika
masuk kerumahnya, aku melihat banyak sekali lukisan-lukisan indah
ketika kutanya itu semua lukisan karya Bu Safira dan Suaminya, Pak
Retno. Aku melihat-lihat isi rumah Bu Safira, ketika ke ruang tv aku
melihat seorang gadis sedang menonton tv, aku tidak tau itu siapa.dan
aku coba-coba untuk menyapanya “Hay, kamu siapa?” sapaku sambil
tersenyum. Saat ku sapa dia, dia malah kaget dengan wajah cemas
sekaligus pucat. Aku malah takut, niatku yang baik ingin ngajak kenalan
eh malah hancur. Aku bingung lihat dia, lalu aku berlari ke dapur dan
bertanya kepada Bu Safira dia itu siapa? “dia itu anak Ibu satu-satu
nya. Memangnya kenapa?” jawab Bu Safira.
“siapa Bu namanya?”
“namanya Adista Rinjana biasa dia dipanggil Adis. Kamu sudah lihat dia? Lihat dimana?” jawab Bu Safira sambil membuat kue.
“iya,
Bu. Tadi saat aku ke ruang tv liat dia nonton tv. Tapi waktu aku mau
deketin dia, dianya berlari dengan wajah cemas itu loh, Bu. Aku sedikit
agak tersinggung, Bu. Memang di diriku ada salah apa ya, Bu?”
Sambil menatapku dengan sedih, Bu Safira seperti ada yang disembunyikannya selama ini. “kenapa, Bu?” tanyaku ulang.
“kita
ke ruang tamu saja. Kalau cerita disini Ibu rasa makanannya bisa ga
steril lagi. Hehe..” Kata Bu Safira yang mencoba menghibur dirinya
sendiri.
Saat
di ruang tamu, Bu Safira mencoba membuatku lupa dan tidak penasaran.
Tetapi aku tetap menagih apa yang ingin diceritakan oleh Bu Safira.
“Begini, Adis sewaktu kecil bersekolah sama seperti mu. Mempunyai banyak
teman, tapi teman-temannya tidak sebaik apa yang difikirkan oleh Adis.
Adis dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya, namun itulah yang
membuat Adis dibenci oleh teman-temannya. Adis selalu diejek, bahkan dia
sering di tampar, disiksa oleh teman-temannya. Hal itu sempat membuat
Adis untuk takut pergi bersekolah. Ceritanya seperti drama saja ya.
Rasanya juga kurang percaya, hehe” cerita Bu Safira sambil menahan air
mata.
“oh, kalau begitu sama dong Bu seperti aku.” Jawabku dengan wajah ceria yang menyembunyikan perasaan sedih.
“sama? Maksudnya?”
“iya
sama, Bu. Aku di sekolah sering banget di ejek, dijahilin bahkan
rambutku suka ditarik-tarik oleh temanku. Tetapi tidak apa-apa, Bu.
Karena aku yakin mereka yang seperti itu dengan kita akan dapat balasan
yang lebih dari kita.”
“kamu sering diperlakukan seperti itu? Oleh siapa Fika?” tanya Bu Safira yang terlihat sangat penasaran.
“Dia
bukan siapa-siapa, Bu. Hehee.. kue yang ingin Ibu buat tadi gimana, Bu?
Ntar dibawa kucing lari lagi” kataku sambil berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Fika! Katakan pada Ibu, siapa yang berlaku jahat seperti itu dengan kamu?”
“di..di..ddiiiaa Kakk..kakk Mon..mon Monic, Bu.” Kataku yang gugup menjawabnya.
“oh dia. Kenapa dia bisa begitu?”
“sepertinya dia iri Bu dengan saya karena akhir-akhir ini Ibu selalu memerhatikan aku terus. Eh iya Bu, jadi Adis gak sekolah?”
“hahahah..
lucu ya mendengarnya. Dia home schooling, iya karena dia trauma saja
untuk bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Ibu jadi lupakan sama kue
tadi, Ibu panggil Adis dulu ya biar kamu ada temen ngobrol.”
“iya iya, Bu!”
Saat
aku diajak ke kamar Adis, ternyata Adis sedang belajar. Ibu Safira
bilang kalau aku adalah teman barunya yang baik, beda dengan teman-teman
sekolahnya dulu. Adis masih takut melihatku, tetapi aku berusaha untuk
membuatnya tidak trauma lagi terhadap teman sekolah. “hay Adis”
“hay” jawabnya dengan takut.
“ya
sudah, kalian duduk di ruang tv saja ya jadi bisa ngobrol sambil nonton
kan. Ibu tinggal ya. Bunda buat kue kesukaan Adis dulu ya.” Kata Bu
Safira sambil mencium dahi Adis.
Selama
duduk di ruang tv sambil menunggu Bu Safira buat kue, kami hanya diam
saja. “Adis kelas berapa? Eh iya, namaku Fika kelas 2 SMP. Aku sekolah
di tempat Bundamu mengajar.” Sapaku duluan.
“kelas 2smp juga. Iya.” Jawabnya yang singkat sekali.
“aku dengar kamu home schooling ya? Kenapa gak sama sepertiku saja yang bersekolah biasa?” tanyaku.
Dia
sama sekali tidak menjawab. Benar apa yang dikatakan oleh Bu Safira,
dia memang mempunyai trauma yang mendalam terhadap teman-teman sebaya
nya.
“kenapa
gak sekolah sama sepertiku? Aku juga sama sepertimu, yang sering di
jahilin oleh teman-temanku. Namun, aku menganggap itu biasa saja. Bahkan
kalu dilihat dari sisi hidup kita, kau lebih beruntung dari aku. Kau
tak pantas untuk mengeluh, aku saja yang lebih buruk nasib dari pada kau
selalu menghindari rasa mengeluh, kecewa dan putus asa.” Bujukku ulang.
“maksudmu apa bahwa aku lebih beruntung dari kau?” tanya Adis
“ya,
kau hanya dijahati oleh temanmu saja namun dalam rumahmu, kau sangat
disayang apa lagi oleh Bunda mu. Kamu tau, aku terkadang iri lho melihat
seorang anak yang sangat dimanja, disayang oleh Ibu kandungnya sendiri.
Iya, aku memang mendapat kasih saya dari seorang Ibuku. Tapi, bagiku
kasih sayang itu menyakitkan.” Jawabku sambil berlinang air mata.
“kenapa begitu? Kamu jangan nangis ya.”
“Ibu
ku tidak menganggapku sebagai anaknya.” Kataku sambil menahan tangis.
Tiba-tiba Adis langsung memelukku. “Aku beruntung, ya aku beruntung.
Terimakasih, kamu jangan pernah nangis. Ibumu sayang denganmu,
bagaimanapun dia adalah Ibumu.” Hibur Adis agar aku tidak menangis.
“terimakasih, Dis” balasku dengan senyum.
“sama-sama, Fika.” Kata Adis sambil senyum haru.
Setelah
itu, untuk lebih akrab lagi aku diajak oleh Fika untuk main ke
kamarnya. Dia memperlihatkan semua mainan yang ada dikamar nya. Dia
memperlihatkan album foto-foto bersama keluarganya. Dia menceritakan
bagaimana sewaktu kecil dia diperlakukan jahat oleh temannya. Mendengar
semua cerita itu, aku tidak bisa berkata banyak karena memang aku tidak
tahu jelas bagaimana jalan ceritanya, tetapi aku hanya mengasih saran
saja kepadanya bahwa “Hidup tidak selalu baik, tidak selalu buruk. Jadi, biasakan dirimu ya!” karena
keasikan bercerita, sampai-sampai kami tidak mendengar kalau Bu Safira
memanggil kami untuk mengajak makan kue yang telah ia buat tadi.
Sehabis
makan kue, aku sengaja mengajak Adis untuk jalan-jalan keluar rumah
karena seperti kata Bu Safira, dia jarang keluar rumah. Bahkan,
perjalanannya selama ini yang paling jauh adalah pagar rumahnya?! Waw,
apa kata kalian? Aku saja kaget. Hehe..
Kami
berkeliling komplek rumahnya menggunakan sepeda Adis. Adis masih takut
membawa sepedanya sendiri, jadi aku yang membawa dan Adis duduk di
belakang. Ini lucunya, ketika sudah cukup jauh dari rumah mengelilingi
komplek, kami terjatuh karena ban sepeda nya pecah. Kami bukannya malah
minta tolong tetapi kami tertawa menahan malu. Sampai kerumah Adis, kami
membawa sepedanya dengan mendorong sambil tertawa-tawa. Itu sangat
seru! Tiba dirumah, kami langsung disuruh masuk oleh Bu Safira karena
dia memasak sesuatu dan dipintanya untuk mencicipi dulu. Tahukah kalian
apa yang aku fikirkan ketika Bu Safira perhatian denganku? Ya, dia yang
bukan Ibu Kandungku saja bisa memberikanku perhatian yang lebih, kenapa
Ibu Kandungku bersifat seolah Ibu Tiri bagiku? Ah sudah, lupakan itu.
Bagaimana pun dia tetap mama ku.
6. Sampai Kapanpun, Kakak Sayang Fika
Mungkin
karena keasikan bermain aku sampai lupa waktu. Waktu telah menunjukkan
jam 5 sore. Ini kali pertamanya aku keterlaluan, pulang sekolah saja jam
12 sedangkan baru mau pulang kerumah baru jam 5 sore. Tapi, tidak
apa-apa kan aku sudah diizinkan oleh Papa. Dan aku langsung segera minta
antarkan oleh Bu Safira untuk pulang kerumah.
Sampai
dirumah, aku disambut dengan kekecewaan. Kegembiraan ku saat dirumah Bu
Safira berkahir secepat itu. Baru masuk pintu saja sudah dibentak oleh
Mama. “dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Mau belajar jadi anak
nakal? Gitu?!” bentak mama dengan keras.
“dari rumah Bu Safira, guru seni lukisku, Ma.” Jawabku dengan pelan
“masih
mau lanjutin lukisnya? Bisa apa kamu dengan tanganmu itu? Jangan selalu
buat saya malu ya dengan tingkah kamu!” bentak mama dengan keras.
“apa
lagi ini, Ma? Jangan marah-marah kenapa? Fika tadi sudah menelpon Papa
kalau mau ada kegiatan dirumah gurunya. Sini Fika, tadi makan dimana
sayang? Mandi dulu ya, kalau sudah mandi langsung makan.” Kata papa
untuk membela dan menenangkan aku.
“iya, Pa.” Jawabku dengan pelan.
Setelah
aku sudah mandi, aku mendekat ke kamar Papa. Aku mendengar mereka
sepertinya sedang seru berbicara dan nampaknya di dalam kamar Papa ada
Kak Ekha. “Ma, Pa, besok boleh nggak Ekha pergi nonton? Kata temen
sekarang lagi ada film yang bagus lho. Kan aku penasaran” pinta kak Ekha
yang ku dengar.
“boleh dong, sama temen ya?”
“nggak usah deh, Ma. Sama Fika aja, mungkin kan lebih seru.”
“seruan sama temen-temen kamu kali. Sama temen aja, biar gak ada rasa malunya gitu.”
“malu? Maksudnya?” sambung papa.
“ya,
begitu. Coba Papa fikirin, apa pantes Ekha yang lembut gemulai jalan
sama anak itu? Yang culun? Kasihan Ekha, pasti besar dia menahan rasa
malu.”
“ma,
mama malu punya anak seperti Fika? Malu kenapa? Dia sama seperti anak
yang lainnya. Dia tidak berbeda! Bahkan dia mempunyai akal yang kuat.
Kalau mama malu punya anak seperti Fika, berarti Mama juga malu
mempunyai suami seperti Papa!” bentak Papa dengan mama.
“malu?
Ekha gak malu, Ma! Dia kan adik kandung Ekha. Ekha sayang Fika.
Pokoknya Ekha tetep mau jalan sama Fika aja! Kalau bukan dengan Fika,
Ekha gak mau.” Pinta ulang kak Ekha.
“iya
ma, lagi pula kasih dia kebebasan juga. Jangan selalu dirumah saja,
itulah yang membuat dia kurang pergaulan. Kurang pergaulan dia itu
adalah mama yang menyebabkan! Jadi, semua itu salah Mama!” bentak papa.
“Papa!
Kalau saya tau Fika akan remaja dengan seperti itu, aku lebih memilih
untuk tidak mengenalnya sekaligus aku tidak akan melahirkan dia!” jawab
mama.
Mendengar
itu, aku langsung ke kamar dan menangis ditempat tidur. Mencoba menahan
tangis itu susah, apalagi jika mendengar kata-kata seperti itu dari
mulut Ibu Kandung kita sendiri.
Tak
lama itu, Kakak langsung masuk kamar dengan rasa cerianya. Dia kaget
melihatku menangis dan langsung menghampiri ku dan bertanya “Fika, kamu
kenapa dek?” aku hanya diam dan kemudian dia bertanya ulang “Fika
kenapa? Fika cerita sama kakak ya. Fika kenapa? Mungkin kakak bisa kasih
saran yang baik untuk Fika.”
“Mama nyesel kak ngelahirin aku. Kenapa Mama ga bunuh aku saja?” kataku sambil menangis kesal.
“Fika
gak boleh ngomong kayak gitu!” kata kakak sambil melihatku penuh haru.
Lalu, dia langsung memelukku dan berkata “Fika, Fika tu adek Kakak.
Kakak sayang sama Fika, sampai kapanpun kakak sayang Fika. Mungkin Fika
mendengar apa yang dikatakan oleh Mama di kamar tadi, tapi tolong jangan
difikirin, ya. Pokoknya Fika harus tau kalau yang sayang dan perhatian
sama Fika tu banyak.”
Mendengar
itu, aku berusaha untuk menghapus air mataku. Aku yakin, memang banyak
yang sayang padaku. Bahkan kakakku yang berusaha untuk tidak melihatku
menangis. Kemudian kakakku langsung mengajakku untuk Sholat Magrib dan
berdoa agar aku selalu diberi kesabaran, kekuatan dan ketabahan.
7. Demi Papa, Fika Akan Selalu Berusaha
Keesokan
harinya saat pulang sekolah, Bu Safira langsung menghampiriku dan
membawakan kabar gembira kepadaku. Ia mengatakn bahwa sabtu depan akan
diadakan lomba melukis tingkat provinsi dan aku sebagai perwakilan dari
sekolahku. Aku saja kaget, bagaimana bisa aku mewakilkan sekolah tetapi
kata Bu Safira aku harus yakin sepenuh hatiku bahwa dengan tanganku ini
aku akan menciptakan sebuah karya yang luar biasa.
Lalu
saat pulang kerumah, aku langsung bicara dengan Papa dan minta izin
bolehkah aku untuk mengikuti lomba ini? Papa saja kaget, lalu Papa
mengizinkan aku untuk ikut lomba ini. Banyak lah hal yang aku perlukan
dalam lomba ini, dan aku langsung minta belikan saja dengan Papa. Papa
langsung cepat ke toko alat tulis untuk membelikan semua peralatan yang
aku butuhkan saat ingin ikut lukis. Aku menyimpan semuanya dengan
baik-baik di dalam lemari ku.
Tidak
kusangka hari perlombaan sudah di depan mata, aku mulai mencari suatu
objek yang mana mungkin baik untuk kujadikan lukisan pada saat
perlombaan nanti. Aku sudah mendapatkan contoh untuk menjadi objek
gambarnya. Aku mendapati gambar seorang Ayah yang sedang berbicara
dengan anaknya. Aku mulai mencoba-coba dan berlatih agar aku bisa.
Pada
saat hari lomba pun tiba, aku sudah sangat mulai deg-degan. Aku
bangunnya sangat pagi karena untuk persiapan lomba. Mendengar suara yang
ribut dari kamarku dibawah karena aku terlalu sibuk mencari apa saja
yang ingin aku bawa saat lomba nanti, Papa terbangun dari tidurnya dan
mungkin saja Papa masih sangat dalam keadaan ngantuk dan dipaksakan
untuk turun melihatku dibawah, apa yang terjadi saat itu teman? Papa
jatuh dari tangga! Kemudian Papa pingsan sesaat, aku sangat takut dengan
kejadian itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa
menolongnya karena aku tidak kuat. Yang aku perbuat hanyalah
membangunkan Kakak dan Mama. Awalnya aku sangat takut untuk membangunkan
Mama, namun bagaimana? Ini kondisi yang sangat penting. Mau tidak mau aku harus melakukan ini.
Melihat
itu, Mama langsung menelpon ambulan darurat dari rumah sakit tempat ia
bekerja. Dan Papa langsung dilarikan kerumah sakit dan langsung masuk ke
UGD. Melihat kondisi Papa saat itu, yang aku lakukan hanya menangis dan
menangis. Lalu Mama bertanya kepadaku bagaimana keadaan itu bisa
terjadi? Aku menceritakan semuanya dengan jelas namun hati ini sangat
bergetar saat berbicara dengan Mama. Setelah mendengar cerita itu, Mama
langsung menamparku. Mama menghina ku dengan berkata “Dasar kau! Memang
kau ini pembawa sial, aku tidak ingin mengenal kau lagi! Anak sial! Aku
benci kau!” mendengar itu, tentu aku hanya makin menangis saja.
Terpaksa
aku harus pulang kerumah untuk menghindari kemarahan Mama. Aku langsung
bersiap untuk mengikuti lomba melukis ini. Sebelum pergi aku juga masih
berfikir, menjaga Papa dirumah sakit atau pergi lomba? Lalu untuk
menentukan jawaban itu, aku segera kerumah sakit langsung melihat Papa.
Sambil menangis, aku bisikan kata-kata cintaku kepada Papa. Aku minta
doa agar aku bisa sukses dalam lomba ini. Demi Papa, Fika akan berusaha,
Pa! Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan Papa dirumah sakit, aku
hanya ingin bersama Papa saja. Dengan bisikan terakhirku sebelum pergi,
aku bisikan kepada Papa “Pa, Fika janji Fika bakal menang. Kalau Fika
menang, lukisan dan hadiah Fika ini untuk Papa.” Walaupun dia belum
sadar dari tidurnya.
Ketika
itu, aku langsung pergi. Ditemui oleh Bu Safira, Bu Safira pun kaget
dan heran bahkan berapa kali ia menanya tidak aku jawab. Dan terakhir
kalinya ia bertanya mengapa aku menangis? Aku menjawab dengan teriakan
kecil “Papa..Papa sakit. Sekarang ia masuk rumah sakit. Papa sakit
karena aku, Bu. Aku tidak mau kehilangan Papa. Lebih baik aku yang
menghilang dari pada harus kehilangan Papa.” Mendengar itu, Bu Safira
hanya diam seperti menahan nangis juga. Mungkin Bu Safira ingin aku
ceria, dia tidak ingin aku menangis.
“Kamu
sayang kan sama Papa? Papa juga sayang sama kamu. Jadi itu bukan salah
siapa-siapa. Itu hanyalah takdir, semua orang mendapatkan itu.” Hibur Bu
Safira
Mendengar
itu, aku mencoba untuk nerhenti menangis. Aku yakin bahwa aku bisa
membuat Papa tersenyum lagi. Lomba pun tiba. Hanya gugup yang aku rasakan. Fikiranku hanya Papa, Papa dan Papa.
Setelah
lomba usai, rasanya aku ingin pulang saja. Aku ingin melihat Papa
dirumah sakit. Aku tidak mau mendengar pengumuman itu. Fikiranku untuk
menang pun hilang, karena fikiranku saat lomba sudah berantakan. Aku
kecewa, janjiku kepada Papa hilang sudah.
Saat
pengumuman pemenang tiba, aku langsung berdoa agar aku bisa menepati
janjiku kepada Papa. Ternyata, terimakasih Ya Tuhan. Aku mendapatkan
juara 1. Uang tunai dan pialanya aku bawa pulang cepat. Tidak
ketinggalan, aku membawa hasil lukisan ku ini kerumah sakit. Aku
berlari-lari masuk rumah sakit bahkan selalu hampir ingin jatuh.
Saat
sampai dirumah sakit, aku melihat ada Om Fariz, Tante Yuni dan Kak Ekha
menangis didepan pintu kamar perawatan Papa. Saat aku bertanya dengan
Kakak, mengapa kalian semua menangis, kakak langsung memelukku, dan
mengatakan “Kita sekarang anak yatim, dek.” Mendengar itu aku tidak
percaya, sanagt tidak percaya. Aku langsung masuk ke kamar dengan
membawa piala dan hasil lukisan ku ini.
Tiba
dikamar, benar apa yang dikatakan oleh Kakak. Tetapi aku tetap tidak
percaya. Aku melihat mayat Papa dengan rasa sangat tidak percaya, aku
teriak sekencang mungkin agar Papa bangun dan melihat apa yang aku
bawakan untuk dia. “Lukisan ini hanyalah untuk mu, Pa. Bangunlah, dan
lihatlah.”
Diluar
rumah sakit, aku seperti orang gila. Memeluk lukisan itu dengan
menyanyi lagu yang pernah Papa beritahu padaku sambil menangis.
Sejak
kejadian itu, aku jadi trauma dengan tangga. Sejak kehilangan Papa, aku
sangat merasa kesepian. Sejak aku merasa sepi, maka aku akan belajar
untuk mencari keramaian. Aku Tahu, Tuhan memang adil, tetapi kenapa
engkau harus lebih cepat mengambil orang kesayanganku dari pelukanku?
Tuhan, tolong beri dia ditempat yang layak baginya, tempat yang baik
baginya, tempat yang tenang karena orang seperti dia tidak pantas
diberikan tempat yang buruk, suram dan tak tenang. Maafkan lah aku,
Tuhan. Sebelum dia Engkau panggil, aku tidak pernah membuat dia bangga,
membuat dia bahagia. Aku tidak akan melupakan semua kisah-kisah terindah
yang kita alami selama ini. Aku hanyalah anak yang buruk, kenapa tidak
aku saja yang Kau jemput terlebih dahulu?
THE END
FERLISSA
1. kisah awal bahagia mereka
Disuatu
kota, ada keluarga yang terkesan akan keharmonisan mereka. Mereka
tinggal disuatu pemukiman yang mungkin bisa dibilang pemukiman yang
elit. Mari kita dengar siapa sih keluarga itu? Ayahnya bernama Santoni
Ibunya Bernama Malia anak pertamanya bernama Ferli Raditya dan anak
keduanya bernama Alissa Maya. Ayahnya bekerja sebagai entertain dan
ibunya bekerja sebagai guru disuatu sekolah negeri di suatu daerah. Saat
itu Ferli masih berusia 7thn dan masih duduk di kelas 2SD , sedangkan
Lissa masih berusia 5thn dan masih TK.
Mereka
sangat harmonis bahkan membuat tetangga mereka iri karena
keharmonisannya. Mereka ber-empat setiap sore selalu bermain di taman
dekat rumahnya. Ferli terlihat begitu menyayangi adiknya dan Lissa pun
terlihat begitu menyayangi kakaknya. Bu’de yang mengasuh mereka (Ira)
sangat senang melihat mereka terlihat kompak, bu’de ira pun sangat
menyayangi keduanya.
Ketika
suatu saat, Bu’de Ira pun membuatkan keduanya kalung yg terbuat dari
bahan emas putih itu mainannya bertulis nama gabungan dari keduanya
yaitu “FERLISSA” betapa senangnya mereka dibuatkan kalung seperti itu
dan selalu dipakai oleh mereka.
Pesan
dari Bu’de Ira saat memakaikan kalung sangat mereka ingat, yaitu “Kalau
Bu’de udah pergi jauh dan tidak akan bertemu lagi sama Feli dan Ica,
jangan lupain Bu’de ya. Karena Bu’de pasti akan selalu ingat sama
kalian, kalau kalian kangen sama Bu’de, kalian bisa lihat kalung yang
ada di leher kalian itu, pakai terus ya agar kalian selalu ingat Bu’de”.
“terimakasih Bu’deku sayang, kami sayang Bu’de” serentak mereka
menjawab.
2. Perlahan Masalah Pun Menghampiri
Inilah
mereka yang harmonis, romantis dan kompak selalu membuat orang
terkadang iri melihatnya. Suatu saat mereka akan berekreasi ke suatu
tempat wisata, mereka pergi berlima menaiki sebuah mobil. Tentu saja,
yang menyupir adalah Ayahnya, lalu Ibunya, Ferli, Lissa dan ?? bisa
tebak siapa satu lagi? Yah tepat sekali, yaitu Bu’de nya yang selalu
menyayangi mereka berdua.
Tibalah
ditempat rekreasi tersebut, Ferli dan Lissa sedang asik-asiknya menaiki
kuda dan Ibunya bersama Bu’de nya hanya tersenyum melihat tingkah lucu
mereka berdua.
“Mal,
enak yah kamu punya 2 anak satu laki-laki dan satu perempuan yang
lucu-lucu sekali! Betapa senangnya aku melihat mereka, andai mereka
adalah anakku, betapa sangat kusayang dan kujaga mereka itu” kata Bu’de
sambil tersenyum haru.
Ibu
Malia hanya bisa membalas senyuman dan sambil berkata dalam hati “Ra,
kamu itu bisa mendapatkan anak seperti mereka namun hanya saja
keberuntungan itu belum memihak kepadamu. Saya hanya dapat untung saja
itu pun kebetulan” Ibu Malia hanya bisa berkata dalam hati karena dia
takut berkata-kata karena mungkin kata yang dikeluarkannya itu hanya
membuat Bu’de sakit hati saja. Mengapa Bu’de akan sakit hati mendengar
kata itu? Karena Bu’de hanyalah seorang wanita yang tak bisa mempunyai
keturunan karena suatu penyakitnya.
Hari
pun terlihat sudah menjelang sore, Lissa pun meminta pulang kepada
ayahnya. Namun, ayahnya masih meminta menunda dulu untuk pulang karena
terdengar suara handphone berbunyi di kantung celananya. “siapa yah?”
tanya ibunya kepada ayah.
“apa? Oh bukan siapa-siapa hanya rekan bisnis saja” jawab ayahnya dengan terlihat gelisah.
“rekan bisnis? Bisnis apa?” tanya ibu yang terlihat makin penasaran .
“sudahlah,
lanjutkan saja permainan kalian itu! Ayah mau ke mushollah dulu, ayah
lupa kalau ayah belum solah zuhur” jawab ayahnya seolah menyembunyikan
sesuatu.
“oh yasudah kalau mau solat dulu, Ferli ikut ayah sana, kan kamu juga belum solat” ibunya berkata dengan rasa curiga.
“eh kenapa mau ikut? Ayah kan cuma mau solat, ayah tidak kemana-mana lagi?” kata ayah yang menahan marahnya.
“kata Ibu solat dulu baru main lagi. Aku ini belum solat ayah!” bentak ferli kesal karena tidak diajak oleh ayahnya.
“sudahlah, nak! Ayo temani adik kamu itu sayang” dengan sambil menahan kesal dan sedihnya itu Ibu berkata.
Hari
pun sudah mulai sore, perlahan tempat rekreasi itu mulai sepi. Sengaja
ibu, ia menyuruh Lissa dan Ferli untuk ke mushollah dengan alasan hanya
ingin mencuci tangan dan kaki mereka yang sangat kotor itu. Tiba di
mushollah, apa yang mereka lihat? Mereka memang melihat ayah, tetapi
ayah bukanlah sedang solat melainkan ia sedang bertelponan dengan
seseorang. Dengan sengaja, ibu sedang mendengar obrolan ayah dengan yang
ayah bilang rekan bisnisnya itu dengan sambil sembunyi-sembunyi. Tetapi
apa? Ibu malah seperti menahan air matanya. Apa yang di dengar ibu? Ibu
segera berlari menuju tempat dimana mobil di parkir.
Selesai
Bu’de dari menemani Lissa dan Ferli mencuci tangan kaki mereka, dengan
kaget dan penasaran melihat Ibu menangis, Bu’de langsung bertanya kepada
Ibu “Hey Mal! Kamu kenapa? Kamu terlihat ada masalah? Masalah apa Mal?”
“Ra,
saya kaget , saya sangat sangat kaget dengan semua ini! Apa yang sedang
saya ketahui itu benar atau salah? Saya benar-benar kaget Ra!” jawab
ibu yang terkesan sangat sedih.
“Kamu
ini kenapa Mal? Saya tidak tahu apa-apa jadi mana saya tahu apa yang
akan saya jawab dengan semua pertanyaan membingungkan kamu ini!” kata
Bu’de sambil penasaran.
“Ra, sumpah saya kaget dengan semua....” pembicaraan stop, dan Ibu langsung menghapus air matanya itu.
“Ferliii,
Lissaaa! Ayo kita pulang Nak! Hari sudah mau malam, kalian belum mandi!
Kapan-kapan kita lanjut lagi ya!” terdengar suara ayah dari jauh.
“Ra, saya mau cerita sama kamu. Tetapi, tunggu kita sampai dirumah ya.” Bisik ibu kepada Bu’de.
3. Apa Yang Sedang Terjadi?
Keesokan
paginya, ayah langsung pergi kerja “Ayah kerja dulu ya, ayo Ferli,
Lissa langsung naik ke mobil! Nanti kalian telambat!” ajak ayah.
“iya
hari ini Bu’de gak jagain dulu ya. Kan kalian udah besar, udah bisa
dong ke sekolah sendiri.” Kata bu’de. “Hati-hati ya Nak!” lanjut ibu.
“daaa Bu’de, daaa ibuku sayang!” kata Lissa dengan manisnya.
Setelah
Ayah, Ferli dan Lissa sudah meninggalkan rumah, langsunglah Ibu
bercerita di ruang makan bersama Bu’de. “gimana Mal, ceritanya yang
kemarin? Kamu itu kenapa? Buat aku penasaran saja” penasaran Bu’de.
“Apakah kamu ada curiga dengan Ayah sesaat dia berlama di mushollah kemarin?” tanya ibu yang lagi-lagi menahan tangis.
“curiga? Loh maksuh kamu itu kenapa? Curiga bagaimana?” tanya Bu’de bingung.
“Begini,
kemarin saat kalian mencuci tangan kaki di belakang mushollah, saya
khendak ke mushollah mau ajak si ayah pulang. Saya kira dia lama karena
dia tertidur, tetapi dia malah bertelpon sama temannya itu. Saya tidak
tahu temannya itu siapa, saya kemarin hanya mendengar pembicaraan mereka
yang begitu mesrah, kok sama rekan bisnis harus pake sayang-sayangan
lagi?” sambil menangis ibu berkata.
“Mungkin
benar apa kata ayah, mungkin itu rekan bisnisnya. Ya, namanya juga
entertainer Mal. Oh saya baru kefikiran, atau itu Pak Darwin? Teman
bisnisnya Ayah kan selalu Pak Darwin” Jawab Bu’de dengan rasa percaya
diri.
“Ah
kamu ini Ra! Masa’ sih dia sama Pak Darwin sampai panggilan
sayang-sayangan? Yang benar saja kamu ini! Kalau dia penyuka sesama
jenis tidak mungkin dia menikahi saya! Kamu ini suka aneh!” jawab ibu
dengan kesal.
“Ya
Allah bodohnya saya ini! Haha yasudahlah, kamu berfikir positif saja
tentang semua itu. Mau bagaimanapun itu tetap suami kamu” kata Bu’de
mencoba menyabarkan Ibu. Ibu
langsung masuk kamarnya untuk membersihkan kamarnya lalu dia melihat
handphone dibawah bantal tempat ayah tidur, mungkin ayah lupa membawa
handphone nya. Dengan diam-diam dia membaca semua pesan singkat yang ada
di handphone ayah itu. Tiba-tiba air mata pun bercucuran saat Ibu
melihat pesan singkat yang mungkin membuatnya sakit hati.
Dari: Cinda XPd
“sayang, pagi-pagi begini dingin sekali ya. Aku pingin dipeluk aja sama kamu. Aduh kangen kamu mungkin udah 3hari gak ketemu”
Istri
siapa yang tidak menangis membaca pesan yang masuk di handphone
suaminya yang berisi seperti itu apa lagi dari perempuan lain? “Iraa..”
memanggil sambil menangis.
“kenapa Mal? Ya Allah kamu kenapa menangis lagi? Kamu melihat apa lagi Mal?” tanya Bu’de penasaran.
“kali
ini aku sudah benar-benar tidak tahan, batinku sakit Ra! Aku benci
laki-laki itu yang telah memainkan perasaanku! Kamu baca ini!” jawab Ibu
kesal.
“Ya
Allah Tony! Kau laki-laki atau bukan? Dimana perasaanmu?” tangis Bu’de.
Bu’de pun langsung masuk kamarnya, sambil memandang fotonya bersama
Ferli dan Lissa dia menangis dan berkata dalam hati “Lihatlah orang
tuamu nak! Sebajing itukan dia? Bagaimana nasibmu? Aku takut kalian akan
diejek teman-temanmu karena kelakuan orang tuamu ini.” Bu’de pun makin
menangis.
Lalu,
Ayah, Ferli dan Lissa pulang kerumah. Sesaat mereka baru ingin memasuki
rumah, Ibu langsung keluar rumah sambil membawa tas yang mungkin isinya
tidak boleh untuk diketahui oleh Ayah. “Mau kemana sayang? Kita baru
pulang kok udah mau pergi lagi?” tanya ayah kepada Ibu.
“Saya mau pergi bentar, asslamu’alaikum.” Dengan cuek Ibu menjawab.
“Ibu mau kemana? Ikut ya.” Pinta Lissa.
“Ibu Cuma bentar kok, tunggu dirumah saja yah sama Bu’de” jawab ibu.
4. Kehancuran Itu Sudah Datang
Setelah
ibu pulang, dia lalu langsung masuk ke kamar Bu’de dan langsung seperti
ingin bercerita secepat-cepatnya. “Ra, aku sudah daftarkan” kata ibu
seperti legah.
“Daftarkan apa?” tanya Bu’de bingung.
“Aku
sudah daftarkan ia kepengadilan tinggi agar kami segera bercerai. Aku
sudah tidak tahan Ra! Seenaknya saja dia memainkan perasaan orang!” kata
Ibu kesal.
“Ya Allah, kamu serius akan meng-akhiri hubungan kalian semudah itu?” tahan tangis Bu’de.
“kalau saya 100% yakin!” seyakin-yakinnya Ibu menjawab.
“Tapi, bagaimana kedua anakmu itu Mal? Mereka masih kecil-kecil, kasihan mereka Mal” Tangis Bu’de.
“Iya,
saya juga masih memikirkan mereka Ra, tetapi..” tiba-tiba Ibu langsung
memeluk Bu’de sambil menangis. “tapi ya mau bagaimana lagi kalau suami
saya seperti itu? Saya ini perempuan yang harus dihargai oleh dia!”
lanjut Ibu.
Ketika
hari mulai malam, ada suatu pembicaraan didalam kamar Ibu yang
terdengar oleh Bu’de dari luar kamar. “Yah, saya mau cerai saja sama
kamu. Saya tidak tahan, kamu itu permainkan saja perasaanku. Kurangku
kepadamu apa? Teganya kamu sampai tidak cukup hanya dengan satu istri
saja.” Ucap Ibu sambil menangis.
“loh?
Maksud Ibu itu apa? Saya ini 100% setia sama kamu sayang! Kamu kenapa
ngomongnya kok gitu?” ayah yang terlihat mengelak dari masalah ini.
“sudah-sudahlahh
kau tak mau jujur juga! Kau buat saya emosi, kau itu sudah punya
seorang istri dan 2 anak! Apa itu masih kurang? Hah? Aku tau semua
aktivitasmu diluar sana! Kamu tidak usah membela diri, Cinda yang kau
katakan rekan bisnis itu siapa? Siapa?? Bisnis apa? Bisnis kawin lagi?
Hah begitu? Emosi ku melunjak kau buat! Aku sudah tulus sayang kepadamu,
tapi beginikah balasan darimu? Dasar kau laki-laki jahanam!” jawab ibu
yang sangat marah dengan sambil menangis. “besok ikut saja saya ke
pengadilan tinggi, saya benar-benar tidak betah sama kamu. Jangan
panggil aku “Ibu” atau “Sayang” lagi. Aku sudah muak dengar kata-kata
itu!”lanjut Ibu.
Sesaat
sidang perceraian selesai, Ibu pun segera ingin meninggalkan rumahnya
dan segera membereskan barang-barangnya dan barang-barang Lissa. Betapa
kasihannya mereka berdua yang masih kecil tidak mengerti apa-apa
tiba-tiba melihat orang tua mereka pisah rumah. “Ibu mau kemana? Lissa
ikut ya?” tanya Lissa polos.
“Ibu mau pergi Nak. Iya kamu ikut Ibu saja, kita pergi bertiga sama Bu’de.” Jawab ibu dengan senyum haru.
“Kak Ferli ikut kan?”
“tidak, biarkanlah kakak sama ayahmu saja dirumah” jawab ibu.
“Tapi Ferli mau ikut Ibu aja, gak mau ikut Ayah” rajuk Ferli.
“Ferli sama Ayah dong!” kata ayahnya sambil tersenyum.
“Gak mau! Aku mau ikut Ibu, mau sama adek gak mau sama papa! Pokoknya gak mau!!” teriak Ferli sambil marah.
Tangan
Ferli dan Lissa pun selalu berpegangan seolah tak mau lepas lagi dan
Lissa pun langsung di tarik tangannya oleh Ibu dan langsung digendong
Ibu. Ferli pun tangannya ditarik kencang oleh Ayahnya, tapi Ferli tetap
menolak sampai itu Ferli ditampar oleh Ayahnya dengan dilihat oleh
Lissa, Lissa pun menangis kencang sambil memanggil nama Kakaknya.
Keduanya menangis sangat kencang. “Adek!!! Sini dek, Ibu!! Sini Bu!!
Kakak mau sama kalian. Ayah jahat sama kakak!” kata-kata yang keluar
dari mulut Ferli itupun sangat membuat Ibunya menangis.
Setelah
jauh berjalan, Ibu pun memilih untuk menaik kendaraan umum saja agar
cepat mendapat tempat tinggal. Di dalam kendaraan umum tersebut, Lissa
masih menangis sambil memegang kalung dari Bu’denya tersebut. Di dalam
mobil Lissa terus dan terus memanggil nama kakaknya yang sangat ia
sayang. Mungkin benar apa kata Bu’denya dulu, mereka memang tidak bisa
dipisahkan, kalau dipisahkan pun ya begini jadinya sangat haru apabila
dilihat.
5. Inikah Yang Selalu Membuat Orang Iri
Akhirnya
Ibu, Bu’de dan Lissa telah menemukan tempat tinggal yang baru setelah
lama mencari. Tempat tinggal ini memang tak semewah tempat tinggal ia
dulu yang besar, luas, tampak elit, mempunyai banyak kamar dan tipe-tipe
rumah orang kaya. Sekarang mereka tinggal hanyalah di sebuah kost-an
yang kecil, mempunyai kamar satu dan ya tapi bisa dibilang itu cukup
layak untuk menjadi tempat tinggal yang baru.
Bu’de
ingin berusaha menghibur Lissa yang terus-terusan sedih akibat pisah
dengan kakak kesayangannya. Bu’de mencoba membuat Lissa akan lupa dengan
Ayahnya dan Kakaknya.
Setelah
1bulan berlalu terlihat mungkin Lissa telah melupakan kakaknya. “Inikah
yang selalu membuat orang iri? Keluarga hancur akibat adanya orang
ke-3? Kasihan anak-anak kecil ini, apa yang mereka fikirkan tentang
ini?” ucap Bu’de dalam hati sambil menangis. “Dahulu memang membuat
orang iri, tetapi sekarang apa? Kita malah dibuat orang iri karena
keawetan rumah tangga mereka” lanjut Bu’de sambil melihat foto keluarga
Ayah Santoni.
10 tahun kemudian
Lissa
kini berusia 15tahun, dan dia bersekolah di salah satu sekolah negeri.
Mungkin di sekolahnya dia adalah anak yang sterbilang istimewa akan
kepintarannya bahkan guru-guru pun hanya terpaku pada satu murid yang
sangat pintar ini. Sedangkan Ferli, kakak kandungnya berusia 17tahun,
dia baru lulus SMA dan akan melanjutkan kuliahnya ke Singapura. Ferli
sekarang telah mempunyai Ibu yang baru, bernama Cinda. Ya orang itu
adalah penghancur hubungan Ayah dan Ibu Ferli dan Lissa. Keluarga Ferli
yang baru sangatlah kaya, terkenal dan disegani oleh orang-orang
sekitarnya.
Sedangkan
keluarga Lissa, hanyalah keluarga yang sangat sederhana. Bahkan, Bu’de
sekarang hanyalah menjadi seorang pembantu rumah tangga dirumah
tetangganya. Ia menjadi pembantu hanyalah untuk menambah biaya makan
ataupun bayar kost-an agar Ibu tidak terlalu berat untuk membayar
semuanya.
Di
sekolahnya pun, Lissa sangat disayang oleh teman-temannya. Dia
mempunyai begitu banyak teman karena sifatnya yang baik, ramah,tidak
sombong dan penyayang. Sedangkan Ferli, dia sudah mengikuti jejak
ayahnya menjadi entertain muda di palembang, sifatnya sekarang berubah
dia sekarang menjadi pemarah, sombong. Karena Ferli sudah merasa hebat
dan kaya, dia bahkan rela meninggalkan bangku kuliahnya.
6. Mereka Tidak Akan Sekompak Dulu
Mungkin
karena Ferli sudah kaya dan sombong, dia sudah tidak akan ingat lagi
dengan adiknya. Tapi, masihkah dia memakai kalung pemberian dari
Bu’denya itu? Iya, ia masih memakainya sampai sekarang. Begitupun juga
Lissa yang selalu memakai kalung itu tetapi berbeda dengan Lissa, ia
kadang iri apabila melihat teman-temannya masih suka bercanda tawa
dengan kakaknya di depan hadapan Lissa. Ferli sekarang telah memiliki
adik baru, adiknya adalah anak dari Ayah dan Ibu tirinya itu bernama
Izka Pricilla. Adiknya perempuan berusia 9tahun, duduk di bangku SD
swasta yang terkenal dan sangat mahal itu. Izka juga berprofesi menjadi
model di salah satu majalah anak.
Apakah
Lissa akan sangat sedih melihat bahwa kakaknya telah mempunyai adik
baru lagi? Lissa terkadang tiap malam merindukan kakaknya, pasti ia akan
selalu berfikir bahwa kakaknya tetap seperti dulu yang ramah, tidak
sombong dan sangat penyayang. Namun, tebakan Lissa sangat salah! Apa
yang dilakukan Lissa bila bertemu dengan kakaknya?
Lissa
sering kali cerita kepada Bu’denya, kalau ia selalu merindukan
kakaknya. Tetapi Bu’de tau dan hanya berkata “sudahla, kau tak usah
fikirkan dia lagi. Belum tentu dia memikirkanmu. Biasanya, kalau
kakaknya akan selalu sayang sama adiknya, pasti kakaknya akan berusaha
mencari adiknya, namun sekarang apa? Tidak sama sekali kan? Sudah,
lupakanlah. Banyak orang yang lebih menyayangimu seperti Ibu, Bu’de,
Guru-gurumu bahkan semua teman-teman mu”
“Tetapi
Bu’de tau kan? Aku sangat rindu saat masa-masa kami bersama.” Jawab
Lissa sambil menahan tangis. “Aku ingin kami bertemu, aku ingin kami
selalu kompak” lanjutnya.
“Lissa,
dengarkan kata Bu’de, kalian tidak mungkin akan bersatu lagi, tidak
akan! Apa yang kamu fikirkan tentang akan bersatu lagi? Dia pasti sudah
lupa dengan kamu.” Usaha Bu’de untuk menyabarkan Lissa.
Untuk
berusaha tenang, dia pun istirahat dan tidur dulu. “Ingat kata Bu’de,
kakak tuh gak pernah mikirin aku. Kakak tuh pasti lupa sama aku! Ngapain
aku tangisin orang yang gak peduli sama aku? Aku gak punya kakak.”
Lissa berkata sendiri dikamar sambil menahan tangis.
7. Asmara Lissa Pun Kini Mulai Terlihat
Keesokan
harinya, Lissa langsung pergi sekolah namun apa yang terjadi? Lagi-lagi
dia dibuat iri oleh temannya. “Sabar.” Kata Lissa dalam hati saat
melihat temannya diantar oleh kakaknya. Tiba dikelas, ia belajar dengan
senang, dia sangat aktif dalam kelas itu sehingga ada seorang teman
laki-laki yang menyukainya karena kepintaran dan keramahannya. Namanya,
Rio. Dia anak laki-laki yang ramah, dan soleh. Ternyata, Lissa juga
menyukainya karena kesolehannya. Tetapi, mereka hanya sebatas teman
belajar saja. Lissa tidak mau lebih dekat dengan Rio karena nanti hanya
akan mengganggu konsentrasi belajar Lissa.
Sesaat
pulang sekolah, ia ditawarkan oleh Rio untuk pulang bersama, kebetulan
Rio juga kesekolah membawa sepeda motor. “Hey Lissa, Pulang dengan
siapa?” tanya Rio.
“Hay, aku pulang sendiri” jawab Lissa sambil tersenyum.
“Naik apa? Ikut aku aja yok!”bujuk Rio.
“Naik bus, oh gak usah. Makasih ya Rio sudah menawari. Lain kali saja” jawab Lissa.
“yasudah, kamu hati-hati ya pulangnya. Aku pulang duluan ya!” kata Rio.
“iya” jawab Lissa sambil senyum.
Tiba
dirumah, Lissa cerita lagi dengan Bu’denya. “Bu’de, aku tadi ditawari
teman aku untuk pulang bersama dia naik motornya. Haha, tapi aku nolak
karena takut nanti Ibu marah dengan ku karena sudah berani berbonceng
dengan laki-laki hehe” cerita Lissa sambil tertawa geli.
“loh?
Kok ceritanya ketawa-tawa gitu ya? Kamu suka ya sama temen kamu itu?
Aduh udah mau menjelang remaja ini anak haha.” Jawab Bu’de sambil
tertawa mengejek.
“ah Bu’de! Aku gak suka sama dia tuh, Cuma..”
“Cuma
cinta aja. Ya kan? Hahaha anak Bu’de yang ini emang bikin gemes” potong
Bu’de saat Lissa belum menyelesaikan pembicaraannya.
Karena tak bisa menahan malunya, Lissa meninggalkan Bu’de dan dia langsung ke kamarnya sambil tertawa geli.
8. Ferli, Apa Kabar Kamu?
Ferli
kini telah menjadi aktor, dia kini sedang membintangi suatu film di
kotanya. Dia kini telah mempunyaibanyak penggemar dan sangat disukai
oleh kaum wanita di sekitar rumahnya.
Tiba
saat Ferli di wawancarai oleh sebuah stasiun televisi dikotanya, ia
berkata bahwa ia berasal dari kota Palembang, Ayahnya bernama Santoni
dan Ibunya bernama Cinda dan adiknya bernama Izka. Dia mengatakan sangat
senang dengan keluarganya. Bagaimana perasaan Ibu kandungnya mendengar
kabar itu? Apakah akan sangat sedih?
Saat
itu, Bu’de sedang menonton acara dimana Ferli di wawancarai itu. Bu’de
langsung mengingat kembali wajah Ferli waktu kecil dan wajah orang yang
ada di tv itu. Ketika pewawancara menanyakan “mengapa Ferli selalu
memakai kalung yang bertuliskan “FERLISSA”itu?” Bu’de langsung yakin
bahwa itu adalah Ferli, anak yang dulu diasuhnya. Mendengar pertanyaan
dari pewawancara itu, Ferli hanya menjawab “Oh, kalau kalung ini
pemberian dari mantan kekasih saya dulu. Ferlissa ini adalah gabungan
nama saya dan dia yaitu Ferli dan Anissa.” Mendengar jawaban dari Ferli
itu, Bu’de pun langsung menangis, karena Ferli tidak mengakui bahwa itu
adalah kalung pemberian Bu’de nya dan juga tidak mengatakan bahwa
FERLISSA itu adalah gabungan namanya dan nama adiknya.
Mendengar
kabar bahwa Ferli sekarang telah menjadi aktor, Bu’de senang tetapi
sedikit kesal karena tidak mengakui semua keluarga kandungnya. Bu’de pun
tak ingin memberi tahu pada adik kandungnya bahwa ia kini telah
mendengar kabar Ferli karena Bu’de takut Lissa hanya akan sakit hati dan
sedih saja.
Keesokan
harinya, Bu’de mencoba mencari alamat rumah Ferli di Jakarta tanpa
diketahui oleh Ibu dan Lissa. Setelah 4hari mencari, akhirnya Bu’de
mendapatkannya. Langsung saja dia menuliskan surat untuk Ferli.
Kpd Yth: Anandaku tercinta, Ferli Raditya
Apakabar
Nak? Masihkah engkau mengingatku? Pengasuhmu saat kau masi kecil?
Bagaimana keadaanmu sekarang? Enakkah tinggal bersama Ibu Barumu itu?
Nak,
taukah engkau bahwa adik kandungmu disini selalu merindukan
kehadiranmu? Ibumu disini selalu menangisi dan memikirkan keadaanmu
sekarang? Kembalilah nak, sesungguhnya engkau akan lebih nikmat bila
tinggal bersama orang-orang yang sangat mencintaimu.
Dan
Bu’de ingin bertanya pada engkau, kenapa kau mengatakan kepada
orang-orang lain kalau kalung bertulis FERLISSA dari kekasihmu? Tapi kau
tau kan, itu sebenarnya kalung dari Bu’de mu dan itu hanya ada di leher
kau dan adik kandung mu? Tolonglah nak, jangan lupakan kami.
Kembalilah, kami merindukanmu..
Tanpa
ragu, Bu’de pun langsung mengirimkan surat itu ke alamat yang telah di
dapatkannya itu. Setelah seminggu menunggu balasan, akhirnya surat itu
pun dibalas namun tak seperti yang di inginkan.
Kpd Yth: Ibu Ira
Maafkan
saya, bukan saya menyombongkan diri tetapi anda itu siapa? Saya memang
punya pengasuh waktu saya kecil namun pengasuh saya saat ini telah
meninggal. Ibu baru? Maksud anda apa? Saya memang terlahir dari rahim
ibu saya ini jadi tolong anda perbaiki lagi kata-kata yang salah itu.
Saya
memang mempunyai adik kandung, bernama Izka bukan Lissa. Dia selalu
bersama saya. Ibu saya juga selalu bersama saya, jadi buat apa mereka
merindukan saya lagi?
Kalung
ini memang dari mantan kekasih saya bukan dari pengasuh saat saya
kecil. Jadi, tolong anda check lagi alamat yang ingin anda kirimi surat
itu jangan sampai salah alamat lagi ya. Maaf, saya tidak mengenali anda.
Sekian dan terimakasih.
Sambil
membaca balasan dari Ferli itu, dia sangat menangis dan kesal melihat
tingkah Ferli yang begitu sombong dengannya. Lalu dibalas lagi oleh
Bu’de yang semakin marah mendengar kata itu.
Hay nak! Tolong kamu jangan durhaka. Kau tidak mengakui Ibumu sungguh keji perbuatan kamu itu!
Saya
sudah murka dengan kau! Kalau saya tau akhirnya begini, saya tidak akan
menyuapimu nasi, menjemputmu sekolah, menemani mu saat kau sakit. Saya
sangat menyesal, dan mulai saat ini terserah bagaimana keadaanmu!
Mentang-mentang kau sudah jadi artis seenaknya kau berkata! Semoga
keluarga barumu itu mendapatkan balasannya terutama untuk kau dan ayahmu
itu!
Setelah
dikirim surat seperti itu, Ferli tidak membalas-balas surat itu lagi.
Sesaat diwawancari lagi dalam sebuah acara, Ferli mengatakan akan
roadshow filmnya di kota kelahirannya yaitu Palembang, dan akan menetap
disana. Mendengar kabar itu, Bu’de pun langsung tak sabar ingin
menemuinya.
9. Apakah Itu Kakakku?
Ternyata
Ferli akan roadshow tepat dimana Lissa bersekolah. Saat roadshow,
banyak sekali yang menggemari Ferli di sekolah Lissa. Ketika Ferli
sedang berfoto-foto dengan fansnya, salah seorang sahabat Lissa yaitu
Revi langsung memanggil Lissa yang sedang berada di kantin dan
memberitahukannya “Alissa! Kak Ferli artis itu ya, punya kalung persis
sama kayak kamu sumpah! Dulu kan kamu pernah bercerita kalau nama kakak
kandung kamu itu Ferli dan punya kalung sama persis dengan kamu!” kata
Revi tergesah gesah.
“Ha?
Ferli? Ada dimana dia sekarang? Kamu kenapa baru kasih tau! Cepat cepat
aku mau lihat dia. Aku mau bicara sama dia!” kata Lissa yang sangat
penasaran.
“di lapangan! Cepat!!” kata Revi tergesah-gesah.
Mereka
berdua pun langung lari ke lapangan sambil mencari dimana Ferli itu.
Saat Lissa sudah bertemu dengan Ferli, Lissa pun langsung menarik tangan
Ferli dan sambil berkata “Kakak! Ini aku kak, Lissa! Ini kalung kita
waktu kecil, aku juga memakainya. Kakak apa kabar sekarang? Kakak udah
ngetop ya. Kakak sumpah aku kangen kakak, tinggal dirumah Ibu ya kak
sama aku!” kata Lissa menangis sambil memegang kalungnya.
“maaf ya Lissa, hehe mungkin kamu salah orang. Maaf ya” kata Ferli sambil tersenyum.
Mendengar
kata itu, Lissa makin menangis dan tetap berusaha mengingatkan kalau ia
itu adalah adiknya “kak, ini Lissa kak! Kakak inget kan? Kita waktu
kecil gak bisa pisah kak. Ini kalung dari Bu’de. Kakak inget kan? Aku
adik kamu kak!” Lissa mengulang sambil menangis.
Namun yang dikatakan oleh Ferli hanya “hehe, maaf ya.” Mendengar itu Lissa makin sedih dan makin menangis.
Setelah
pulang sekolah, dia langsung bercerita kepada Ibunya. Tiba dirumahnya
ia langsung memeluk Sang Ibu sambil berkata “Ibu, tadi Lissa ketemu
Kakak bu. Dia gak kenal lagi sama Lissa, dia sombong!”
“ketemu? Kok bisa? Mana mungkin.” Kata ibunya yang tak percaya “Mungkin kamu salah orang saja.” Lanjut ibu.
“Lissa
serius Bu! Dia gak mengenal Lissa lagi bahkan tidak mengenal Ibu lagi.
Aku yakin bu, itu adalah kakak. Dia pakai kalung yang dikasih oleh
Bu’de. Bu, aku sedih lihat dia seolah gak kenal lagi sama kita. Bahkan,
saat Lissa menangis di sekolah tadi, Lissa dibilang orang gila lah, sok
kenal lah oleh temen-temen Lissa” ucap Lissa sambil menangis.
Mendengar
itu, Bu’de pun langsung menyambung pembicaraan Lissa dan Ibu “Ferli?
Halah, tak usah diharapkan orang sombong seperti itu. Memangnya manusi
di dunia ini cuma satu? Cuma dia? Semoga dia dapatkan balasannya!”
sambung Bu’de dengan kesal.
“sudahlah
sayang, buat apa kamu menangisi dia? Apa dia menangisi kamu? Tidak kan!
Biarkanlah Allah yang membalas semua ini. Karma itu sangat berlaku di
dunia ini apa lagi bagi orang yang tidak tau diri.” Kata ibu untuk
menenangkan Lissa.
Lissa
kini mulai agak sedikit tenang karena ia percaya dan yakin apa yang
telah Ibu katakan kepadanya itu benar. “karma itu sangat berlaku bagi
orang yang tidak tahu diri”
Disaat
di sekolah, Lissa pun bercerita kepada Rio dan Revi tentang Ferli tidak
mengenalnya lagi. “sudahlah sa, orang yang kaya itu nasib nya tidak
akan selalu nikmat dan baik. Biarkanlah dia hidup dengan jalannya
sendiri.” Kata Revi untuk memberi semangat agar tidak mengingat Ferli
lagi.
“Ngapain sedih? Biarin aja kali, kan masih ada Rio yang selalu sayang sama Lissa. Hehe” hibur Rio.
“ciee, ehm. Kayaknya aku cuma jadi obat nyamuk aja deh disini” hibur Revi.
“hahaha,
apa-apaan sih kalian? Eh tapi makasih ya dukungannya. Makaish banget,
kalian sahabat terbaik aku.” Kata Lissa sambil senyum haru.
“iya sama-sama. Doain aja biar dapat karma tuh si Ferli!” kata Revi sambil kesal.
Mendengar
itu, Lissa pun hanya tertawa saja. Namun, di fikirannya dia tidak ingin
terjadi apa-apa pada kakaknya, karena dia masih mempedulikan kakaknya.
10. Karma Itu Sangat Berlaku Bagi Orang Yang Tidak Tahu Diri!
Disisi
lain, Lissa masih mempedulikan kakaknya. Namun, apa boleh buat? Tingkah
kakaknya kepada Lissa pun seperti itu. Mungkin bisa dibilang Ferli
adalah “Kacang lupa kulitnya”
6 bulan kemudian
Terdengar
kabar bahwa keluarga Ferli dalam keadaan hancur-hancurnya. Ayahnya
berselingkuh dengan artis lain lagi, sedangkan Ibunya terlibat dalam
pesta narkotika. Mendengar kabar itu, Bu’de pun sangat legah dan sangat
bersyukur atas itu. Memang tidak boleh bersenang saat keluarga masih
dalam situasi menyedihkan, tetapi ya sifat Ferli dengan mereka telah
begitu berbeda. “Ibu, kasihan ya kakak. Mau lari kemana lagi dia?” kata
Lissa dengan rasa peduli.
“orang
seperti itu tidak pantas untuk dipedulikan. Biarkanlah saja dia, sudah
dibilang karma itu berlaku mengapa masih bertingkah tak wajar dengar
keluarga kandungnya sendiri.” Kata Bu’de dengan kesal.
“iya
Nak, biarkan saja dia. Kita sedang susah apa dia peduli? Tidak kan.
Jadi jangan pedulikan dia lagi.” Kata Ibu yang ikut kesal.
“iya tapi..”
“sudah, tak usah difikirkan.” Kata Ibu yang tetap tidak peduli dengan Ferli.
Dan
akhirnya dalam sebuah acara talk show, Ferli mengakui menyesal telah
menyia-nyiakan 3orang yang telah mengaku masih satu darah dengannya.
Tetapi Ferli tidak menyebutkan siapa orang itu. Saat Ferli menemukan
sebuah foto ia sewaktu kecil dengan Lissa, Ibu, Bu’de dan Ayahnya itu,
barulah ia sadar bahwa yang selama ini mengaku menjadi Ibunya, Adiknya
sekalipun Bu’de nya itu benar namun bagaimana? Dia telah malu untuk
menyadari kedua kalinya lagi. Ia pun hanya bisa menangis dalam hati
mengingat keluarga barunya telah hancur dan keluarga ia sebenarnya telah
ia sia-sia kan.
THE END
Langganan:
Postingan (Atom)