Hai,
namaku Rafika Larani dan biasa dipanggil Fika. Aku mempunyai satu kakak
perempuan bernama Ekha Apsanie, ia biasa dipanggil Ekha. Mamaku bernama
Hanifah ia bekerja sebagai dokter. Papaku bernama Jhon Zauhari, ia
bekerja sebagai Dosen di sebuah universitas negeri di daerahku. Aku
senang dengan mereka, senang sekali karena aku yakin aku pasti akan
dimanja karena aku paling kecil dirumahku hehe..
Aku
masih kelas 2smp dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang
tidak jauh dari rumahku. Kakakku sekarang sudah kelas 2sma dan ia
bersekolah jauh dari rumah. Kakak bersekolah disana karena ia mendapat
beasiswa dari sekolah itu karena memang dari kecil dia sangat
berprestasi beda hal nya dengan aku, aku adalah gadis kecil yang bodoh,
kurang pergaulan, dan tidak tahu apa-apa..
Kakak
selalu diantar-jemput oleh Mama, aku jalan kaki saja kok hehe. Tetapi,
apabila kami sedang berkumpul ria, aku terkadang iri melihat kakak yang
selalu dibanggakan oleh Mama. Ya, pantas dan wajarlah ia membanggakan
kakak, karena kakak itu memang anak yang sangat cerdas. Aku bangga
mempunyai kakak seperti kak Ekha.
2. Saat Awal Aku Menyukai Melukis
Disekolah
ku, aku mengikut tiga sekaligus ekstrakulikuler yaitu basket, PMR dan
Seni Lukis. Tahukah kalian teman, dalam semua bidang ekstrakulikuler
yang aku ikuti ini, tidak ada yang sangat aku bisa. Aku termasuk anak
kaku untuk bekerja seperti itu. Mungkin kalian akan tertawa geli bila
melihatku yang culun, kaku, tidak bisa apa-apa tetapi mengikuti tiga
sekaigus ekstra kulikuler disekolah, hahaa..
Tetapi
aku merasa aku sangat disayangi oleh guru-guru yang mengajarku entah
mengapa aku merasa begitu apa lagi Ibu Safira, guru yang mengajari kami
dalam bidang Seni Lukis ini sangat peduli denganku. Dia yakin, bahwa
tanganku pasti bisa menciptakan suatu karya seni yang luar biasa.
Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum sambil menahan tawa. Ya bayangkan
saja, apa yang aku bisa dengan tangan-tangan kaku ini?
Beberapa
minggu kemudian setelah aku giat mengikuti ekskul ini, aku sangat
menyukai Lukis ini. Aku latihan melukis lebih giat bukan karena
keluargaku sangat mendukung, melainkan guruku itulah yang sangat memberi
semangat yang ekstra. Karena itulah, aku yakin aku bisa! Aku tidak akan
mengecewakan orang yang telah memberikanku semangat lebih dari Ibu
Kandungku.
Ketika
ada suatu lomba melukis, aku diajak oleh Ibu Safira untuk mengikutinya
tetapi aku menolak. “waah Ibu kalau mau bikin smp kita menang jangan
pakai aku, Bu. Aku gak bisa apa-apa. Jangan aku yah, Bu! Aku bakal malu
kalau Ibu ngajak aku.” Aku sudah berkata sambil menolak seperti itu,
tetapi Ibu Safira masih saja mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba
melukis ini. Ya, aku hanya bisa pusing dan tidak bisa berbuat apa-apa
lagi sebelum lomba itu. Namun aku yakin, dibalik sebuah usaha pasti ada
hasil yang memuaskan.
Ketika
sudah lomba, apa yang aku fikirkan itu jadi tidak karuan semua karena
terlalu pusingnya aku. Rasanya ingin cepat-cepat pulang, tidak mau
mendengar pengumuman siapa yang akan menang. Kak Monica, kakak kelasku
sudah sangat yakin bahwa dia akan memenangkan lomba ini dan dia selalu
menertawakan aku karena kemampuanku yang belum seberapa tapi sudah
diikuti lomba tingkat kota. Kak Monica emang pernah menyumbangkan piala
juara 3 lomba melukis tingkat kota tahun kemarin, mungkin karena itulah
dia menjadi terlihat sombong, angkuh. Ya, tapi mau bagaimana lagi dia
adalah kakak kelasku, aku tidak bisa melawannya karena aku takut akan
terjadi apa-apa denganku.
Ketika
pengumuman pemenang diumumkan, aku sudah sangat takut, malu, keringat
dingin, dan rasanya ingin menangis. Juara 3sudah diumumkan dan aku makin
kecewa. “yah, juara 3 saja lukisannya sebagus itu. Mustahil sekali aku
untuk menjadi juara. Ah biarin deh yang penting pengalaman dulu.” Namun
saat aku berkata seperti itu, Ibu Safira malah memarahi aku dan
menyuruhku tetap optimis. Tapi bagaimana, rasa kecewa itu sangat
mendalam dihatiku ini. Juara 2 akan diumumkan dan? Waw! Apa yang
terjadi? Apakah aku bermimpi? Ya Tuhan, terimakasih atas semua ini. Aku
juara 2? Ah aku benar-benar bermimpi? Tidak! Aku tidak bermimpi. Betapa
senangnya aku, rasanya seperti mimpi indah yg tidak akan kulupakan,
tetapi saat itu aku tidak tidur dan tidak bermimpi.
Saat
kami akan pulang, semua anak yang mengikuti lomba itu memberi selamat
kepada sang juara-juaranya, tetapi beda halnya dengan Kak Monic. Dia
tidak memberikanku selamat, atau pujian sama sekali. Saat di bus, Kak
Monic menangis disamping Bu Safira sambil marah-marah dan berkata “Juri
tahun ini memang benar-benar buta! Beda dengan juri tahun kemarin yang
memang sudah benar, sudah ada bakat untuk menilai hasil lukisan
seseorang. Buta! Mereka buta semua!” mendengar itu aku hanya diam tidak
berani berbicara apa-apa, dalam hati ku hanya berkata “Sudahlah, ini
memang bakatku dengan kemampuanku dan semangat dalam hatiku. Aku tidak
curang, aku menang karena aku memang benar.” 3. Aku Yakin, Aku Bisa!
Setelah
sampai dirumah, aku langsung memberi tahu Mama, Papa dan Kakak bahwa
aku telah menang dalam lomba ini, Papa sangat senang mendengar kabar
itu, namun beda hal-nya dengan Mama. Respon yang mama berikan saat aku
mengatakan bahwa aku telah menang biasa
saja. Tak ada rasa bangga, malahan dia mengatakan bahwa menang dalam
lomba melukis itu adalah hal yang sangat biasa karena itu cocoknya untuk
anak-anak kecil bukan anak-anak se-usiaku seperti ini. Mendengar itu
aku hanya bisa diam dan menahan sedih. Mungkin kritik dari ibu itu cocok
untukku jadikan sebagai pendorong semangatku agar aku lebih giat
berlatih, lebih sering belajar melukis seperti ini. “aku yakin aku
bisa!” mungkin aku terlalu sakit hati melihat Mama berkata seperti itu,
namun aku akan tunjukkan kepadanya bahwa aku pasti bisa!
Karena
aku terlalu pusing, terlalu memikirkan perkataan Mama, aku mulai
membuat banyak-banyak tulisan “AKU YAKIN AKU BISA” dari kertas warna
yang lalu akan aku tempelkan pada semua sisi sudut kamarku. Sekarang
lihatlah kamarku, penuh dengan tulisan seperti itu. Setiap kali aku
mengundang temanku kerumah dan bermain di kamarku, mereka selalu
bertanya “untuk apa kau membuat ini?” dan aku selalu menjawab, “itu
adalah doa. Setiap orang yang membaca ini maka aku sangat berterimakasih
dengan mereka karena mereka telah mendoakanku supaya aku bisa.”
Teman-temanku hanya bingung dan aneh mendengar jawabanku. “aku serius!”
aku mengulangi perkataanku tadi agar mereka benar-benar percaya
denganku.
Saat
itulah setiap aku bangun dari tidur, aku langsung membaca kata itu. Aku
harus bisa, aku yakin aku bisa! Aku akan berusaha sendiri, berusaha
sebisa mungkin untuk membahagiakan Mama & Papa. Aku ingin mengikuti
jejak kakak ku yang selalu bisa membahagiakan Mama & Papa. Dia bisa,
kenapa aku tidak? Aku yakin aku bisa!
Setiap
kali aku latihan melukis disekolahku, selalu aku perhatikan bahwa yang
selalu mengasih semangat ke aku itu Papa. Tapi, apakah ada Mama selalu
mendukungku? Tidak! Aku tidak pernah melihat dia memberikanku semangat
dan dukungan untukku. Iya, pastinya kalian tahu apa yang aku rasakan.
Betapa sedihnya aku.
Sering
kali aku berfikir bahwa “apakah aku bukan anak kandung dari Mama?” aah
kenapa aku selalu berfikir negatif. Tapi pertanyaan itu selalu ada di
benakku. Yang selalu aku fikirkan, mengapa Mama lebih mendukung semua
kegiatan Kak Ekha dari pada aku. Aku tau itu, aku tau Kak Ekha memang
lebih unggul prestasi dari pada aku. Tetapi, setidaknya Mama juga harus
memberi dukungan kepadaku, walau sedikit tetapi itu harus ada. Ya,
kalian tau kalau aku memang iri. Aku seperti kehilangan kasih sayang
dari seorang Ibu, itu sempat membuatku putus asa dalam hidup. Tetapi ya
bagaimana, aku tidak bisa membenci Ibuku sendiri bagaimanapun juga sifat
dia terhadapku, dia tetap Ibuku.
Hanya
dialah yang bisa membangkitkan semangat hidupku lagi. Benar, dia adalah
Papa. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya, dia selalu memberikanku
kasih sayang yang super besar. Dia selalu menjagaku, disaat aku sedih
tempat ku untuk mencurahkan perasaanku hanyalah dia walau dia laki-laki,
tetapi aku selalu bertanya tentang keadaan wanita dengannya sehingga
dia seperti Mama.
Aku
tidak ingin lagi berfikir tentang negatif karena aku yakin itu semua
salah dan tidak benar. Terimakasih ayah atas semua perhatian dan kasih
sayang yang kau berikan, suatu saat aku pasti akan membalas ini walau
kubalas hanya dengan sebuah nilai yang kecil bagimu tetapi itu suatu
usaha terbesar bagiku. Aku berjanji akan membuatmu senyum bahagia,
senyum bangga terhadapku! Percayalayh Pa! Aku berjanji, percayalah!
Ketika pulang sekolah, aku diajak oleh Bu Safira mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, kebetulan juga aku ingin sekali tahu rumahnya. “bentar ya, Bu. Aku minta izin dulu sama papa.” Kataku sebelum khendak pergi kerumah Bu Safira. Kemudia aku menelpon papa menggunakan telepon umun yang ada di depan sekolah ku. “Assalamu’alaikum Pa. Ini fika, Pa.”
“oh dengan Fika. Kenapa sayang?”
“Pa, boleh nggak Fika pulang sekolahnya langsung kerumah Bu Safira”
“memangnya ada acara apa?”
“gak ada, Pa. Cuma ingin berkunjung aja kok”
“ya sudah. Tapi hati-hati ya. Pulangnya gimana?”
Aku
sempat diam dan berhenti bicara, lalu bertanya sama Bu Safira bagaimana
aku pulangnya? “tidak apa-apa. Nanti Ibu antar saja kerumahnya, yah.”
Jawab Bu Safira dengan tenang. Lalu aku melanjutkan percakapanku dengan
ayah dan terimakasih aku diizinkan untuk berkunjung ke rumah Bu Safira.
Kami
kerumah Bu Safira naik Bus,karena aku pertama kalinya keluar dengan
orang yang bukan keluargaku tentu tetap takut walau sekalipun itu guru
terbaikku karena pesan Papa selalu berhati-hatilah dengan orang yang
tidak kenal dekat olehku.
Cukup
jauh teman perjalanannya, aku pun mual-mual di Bus karena ga tahan.
Ketika sampai di rumah Bu Safira aku merasa puas sekali karena rasa mual
ku di Bus terbayar karena baru sampai depan pagar aku sudah menikmati
taman yang penuh dengan bunga-bunga kesukaanku.
Ketika
masuk kerumahnya, aku melihat banyak sekali lukisan-lukisan indah
ketika kutanya itu semua lukisan karya Bu Safira dan Suaminya, Pak
Retno. Aku melihat-lihat isi rumah Bu Safira, ketika ke ruang tv aku
melihat seorang gadis sedang menonton tv, aku tidak tau itu siapa.dan
aku coba-coba untuk menyapanya “Hay, kamu siapa?” sapaku sambil
tersenyum. Saat ku sapa dia, dia malah kaget dengan wajah cemas
sekaligus pucat. Aku malah takut, niatku yang baik ingin ngajak kenalan
eh malah hancur. Aku bingung lihat dia, lalu aku berlari ke dapur dan
bertanya kepada Bu Safira dia itu siapa? “dia itu anak Ibu satu-satu
nya. Memangnya kenapa?” jawab Bu Safira.
“siapa Bu namanya?”
“namanya Adista Rinjana biasa dia dipanggil Adis. Kamu sudah lihat dia? Lihat dimana?” jawab Bu Safira sambil membuat kue.
“iya,
Bu. Tadi saat aku ke ruang tv liat dia nonton tv. Tapi waktu aku mau
deketin dia, dianya berlari dengan wajah cemas itu loh, Bu. Aku sedikit
agak tersinggung, Bu. Memang di diriku ada salah apa ya, Bu?”
Sambil menatapku dengan sedih, Bu Safira seperti ada yang disembunyikannya selama ini. “kenapa, Bu?” tanyaku ulang.
“kita
ke ruang tamu saja. Kalau cerita disini Ibu rasa makanannya bisa ga
steril lagi. Hehe..” Kata Bu Safira yang mencoba menghibur dirinya
sendiri.
Saat
di ruang tamu, Bu Safira mencoba membuatku lupa dan tidak penasaran.
Tetapi aku tetap menagih apa yang ingin diceritakan oleh Bu Safira.
“Begini, Adis sewaktu kecil bersekolah sama seperti mu. Mempunyai banyak
teman, tapi teman-temannya tidak sebaik apa yang difikirkan oleh Adis.
Adis dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya, namun itulah yang
membuat Adis dibenci oleh teman-temannya. Adis selalu diejek, bahkan dia
sering di tampar, disiksa oleh teman-temannya. Hal itu sempat membuat
Adis untuk takut pergi bersekolah. Ceritanya seperti drama saja ya.
Rasanya juga kurang percaya, hehe” cerita Bu Safira sambil menahan air
mata.
“oh, kalau begitu sama dong Bu seperti aku.” Jawabku dengan wajah ceria yang menyembunyikan perasaan sedih.
“sama? Maksudnya?”
“iya
sama, Bu. Aku di sekolah sering banget di ejek, dijahilin bahkan
rambutku suka ditarik-tarik oleh temanku. Tetapi tidak apa-apa, Bu.
Karena aku yakin mereka yang seperti itu dengan kita akan dapat balasan
yang lebih dari kita.”
“kamu sering diperlakukan seperti itu? Oleh siapa Fika?” tanya Bu Safira yang terlihat sangat penasaran.
“Dia
bukan siapa-siapa, Bu. Hehee.. kue yang ingin Ibu buat tadi gimana, Bu?
Ntar dibawa kucing lari lagi” kataku sambil berusaha mengalihkan
pembicaraan.
“kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Fika! Katakan pada Ibu, siapa yang berlaku jahat seperti itu dengan kamu?”
“di..di..ddiiiaa Kakk..kakk Mon..mon Monic, Bu.” Kataku yang gugup menjawabnya.
“oh dia. Kenapa dia bisa begitu?”
“sepertinya dia iri Bu dengan saya karena akhir-akhir ini Ibu selalu memerhatikan aku terus. Eh iya Bu, jadi Adis gak sekolah?”
“hahahah..
lucu ya mendengarnya. Dia home schooling, iya karena dia trauma saja
untuk bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Ibu jadi lupakan sama kue
tadi, Ibu panggil Adis dulu ya biar kamu ada temen ngobrol.”
“iya iya, Bu!”
Saat
aku diajak ke kamar Adis, ternyata Adis sedang belajar. Ibu Safira
bilang kalau aku adalah teman barunya yang baik, beda dengan teman-teman
sekolahnya dulu. Adis masih takut melihatku, tetapi aku berusaha untuk
membuatnya tidak trauma lagi terhadap teman sekolah. “hay Adis”
“hay” jawabnya dengan takut.
“ya
sudah, kalian duduk di ruang tv saja ya jadi bisa ngobrol sambil nonton
kan. Ibu tinggal ya. Bunda buat kue kesukaan Adis dulu ya.” Kata Bu
Safira sambil mencium dahi Adis.
Selama
duduk di ruang tv sambil menunggu Bu Safira buat kue, kami hanya diam
saja. “Adis kelas berapa? Eh iya, namaku Fika kelas 2 SMP. Aku sekolah
di tempat Bundamu mengajar.” Sapaku duluan.
“kelas 2smp juga. Iya.” Jawabnya yang singkat sekali.
“aku dengar kamu home schooling ya? Kenapa gak sama sepertiku saja yang bersekolah biasa?” tanyaku.
Dia
sama sekali tidak menjawab. Benar apa yang dikatakan oleh Bu Safira,
dia memang mempunyai trauma yang mendalam terhadap teman-teman sebaya
nya.
“kenapa
gak sekolah sama sepertiku? Aku juga sama sepertimu, yang sering di
jahilin oleh teman-temanku. Namun, aku menganggap itu biasa saja. Bahkan
kalu dilihat dari sisi hidup kita, kau lebih beruntung dari aku. Kau
tak pantas untuk mengeluh, aku saja yang lebih buruk nasib dari pada kau
selalu menghindari rasa mengeluh, kecewa dan putus asa.” Bujukku ulang.
“maksudmu apa bahwa aku lebih beruntung dari kau?” tanya Adis
“ya,
kau hanya dijahati oleh temanmu saja namun dalam rumahmu, kau sangat
disayang apa lagi oleh Bunda mu. Kamu tau, aku terkadang iri lho melihat
seorang anak yang sangat dimanja, disayang oleh Ibu kandungnya sendiri.
Iya, aku memang mendapat kasih saya dari seorang Ibuku. Tapi, bagiku
kasih sayang itu menyakitkan.” Jawabku sambil berlinang air mata.
“kenapa begitu? Kamu jangan nangis ya.”
“Ibu
ku tidak menganggapku sebagai anaknya.” Kataku sambil menahan tangis.
Tiba-tiba Adis langsung memelukku. “Aku beruntung, ya aku beruntung.
Terimakasih, kamu jangan pernah nangis. Ibumu sayang denganmu,
bagaimanapun dia adalah Ibumu.” Hibur Adis agar aku tidak menangis.
“terimakasih, Dis” balasku dengan senyum.
“sama-sama, Fika.” Kata Adis sambil senyum haru.
Setelah
itu, untuk lebih akrab lagi aku diajak oleh Fika untuk main ke
kamarnya. Dia memperlihatkan semua mainan yang ada dikamar nya. Dia
memperlihatkan album foto-foto bersama keluarganya. Dia menceritakan
bagaimana sewaktu kecil dia diperlakukan jahat oleh temannya. Mendengar
semua cerita itu, aku tidak bisa berkata banyak karena memang aku tidak
tahu jelas bagaimana jalan ceritanya, tetapi aku hanya mengasih saran
saja kepadanya bahwa “Hidup tidak selalu baik, tidak selalu buruk. Jadi, biasakan dirimu ya!” karena
keasikan bercerita, sampai-sampai kami tidak mendengar kalau Bu Safira
memanggil kami untuk mengajak makan kue yang telah ia buat tadi.
Sehabis
makan kue, aku sengaja mengajak Adis untuk jalan-jalan keluar rumah
karena seperti kata Bu Safira, dia jarang keluar rumah. Bahkan,
perjalanannya selama ini yang paling jauh adalah pagar rumahnya?! Waw,
apa kata kalian? Aku saja kaget. Hehe..
Kami
berkeliling komplek rumahnya menggunakan sepeda Adis. Adis masih takut
membawa sepedanya sendiri, jadi aku yang membawa dan Adis duduk di
belakang. Ini lucunya, ketika sudah cukup jauh dari rumah mengelilingi
komplek, kami terjatuh karena ban sepeda nya pecah. Kami bukannya malah
minta tolong tetapi kami tertawa menahan malu. Sampai kerumah Adis, kami
membawa sepedanya dengan mendorong sambil tertawa-tawa. Itu sangat
seru! Tiba dirumah, kami langsung disuruh masuk oleh Bu Safira karena
dia memasak sesuatu dan dipintanya untuk mencicipi dulu. Tahukah kalian
apa yang aku fikirkan ketika Bu Safira perhatian denganku? Ya, dia yang
bukan Ibu Kandungku saja bisa memberikanku perhatian yang lebih, kenapa
Ibu Kandungku bersifat seolah Ibu Tiri bagiku? Ah sudah, lupakan itu.
Bagaimana pun dia tetap mama ku.
6. Sampai Kapanpun, Kakak Sayang Fika
Mungkin
karena keasikan bermain aku sampai lupa waktu. Waktu telah menunjukkan
jam 5 sore. Ini kali pertamanya aku keterlaluan, pulang sekolah saja jam
12 sedangkan baru mau pulang kerumah baru jam 5 sore. Tapi, tidak
apa-apa kan aku sudah diizinkan oleh Papa. Dan aku langsung segera minta
antarkan oleh Bu Safira untuk pulang kerumah.
Sampai
dirumah, aku disambut dengan kekecewaan. Kegembiraan ku saat dirumah Bu
Safira berkahir secepat itu. Baru masuk pintu saja sudah dibentak oleh
Mama. “dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Mau belajar jadi anak
nakal? Gitu?!” bentak mama dengan keras.
“dari rumah Bu Safira, guru seni lukisku, Ma.” Jawabku dengan pelan
“masih
mau lanjutin lukisnya? Bisa apa kamu dengan tanganmu itu? Jangan selalu
buat saya malu ya dengan tingkah kamu!” bentak mama dengan keras.
“apa
lagi ini, Ma? Jangan marah-marah kenapa? Fika tadi sudah menelpon Papa
kalau mau ada kegiatan dirumah gurunya. Sini Fika, tadi makan dimana
sayang? Mandi dulu ya, kalau sudah mandi langsung makan.” Kata papa
untuk membela dan menenangkan aku.
“iya, Pa.” Jawabku dengan pelan.
Setelah
aku sudah mandi, aku mendekat ke kamar Papa. Aku mendengar mereka
sepertinya sedang seru berbicara dan nampaknya di dalam kamar Papa ada
Kak Ekha. “Ma, Pa, besok boleh nggak Ekha pergi nonton? Kata temen
sekarang lagi ada film yang bagus lho. Kan aku penasaran” pinta kak Ekha
yang ku dengar.
“boleh dong, sama temen ya?”
“nggak usah deh, Ma. Sama Fika aja, mungkin kan lebih seru.”
“seruan sama temen-temen kamu kali. Sama temen aja, biar gak ada rasa malunya gitu.”
“malu? Maksudnya?” sambung papa.
“ya,
begitu. Coba Papa fikirin, apa pantes Ekha yang lembut gemulai jalan
sama anak itu? Yang culun? Kasihan Ekha, pasti besar dia menahan rasa
malu.”
“ma,
mama malu punya anak seperti Fika? Malu kenapa? Dia sama seperti anak
yang lainnya. Dia tidak berbeda! Bahkan dia mempunyai akal yang kuat.
Kalau mama malu punya anak seperti Fika, berarti Mama juga malu
mempunyai suami seperti Papa!” bentak Papa dengan mama.
“malu?
Ekha gak malu, Ma! Dia kan adik kandung Ekha. Ekha sayang Fika.
Pokoknya Ekha tetep mau jalan sama Fika aja! Kalau bukan dengan Fika,
Ekha gak mau.” Pinta ulang kak Ekha.
“iya
ma, lagi pula kasih dia kebebasan juga. Jangan selalu dirumah saja,
itulah yang membuat dia kurang pergaulan. Kurang pergaulan dia itu
adalah mama yang menyebabkan! Jadi, semua itu salah Mama!” bentak papa.
“Papa!
Kalau saya tau Fika akan remaja dengan seperti itu, aku lebih memilih
untuk tidak mengenalnya sekaligus aku tidak akan melahirkan dia!” jawab
mama.
Mendengar
itu, aku langsung ke kamar dan menangis ditempat tidur. Mencoba menahan
tangis itu susah, apalagi jika mendengar kata-kata seperti itu dari
mulut Ibu Kandung kita sendiri.
Tak
lama itu, Kakak langsung masuk kamar dengan rasa cerianya. Dia kaget
melihatku menangis dan langsung menghampiri ku dan bertanya “Fika, kamu
kenapa dek?” aku hanya diam dan kemudian dia bertanya ulang “Fika
kenapa? Fika cerita sama kakak ya. Fika kenapa? Mungkin kakak bisa kasih
saran yang baik untuk Fika.”
“Mama nyesel kak ngelahirin aku. Kenapa Mama ga bunuh aku saja?” kataku sambil menangis kesal.
“Fika
gak boleh ngomong kayak gitu!” kata kakak sambil melihatku penuh haru.
Lalu, dia langsung memelukku dan berkata “Fika, Fika tu adek Kakak.
Kakak sayang sama Fika, sampai kapanpun kakak sayang Fika. Mungkin Fika
mendengar apa yang dikatakan oleh Mama di kamar tadi, tapi tolong jangan
difikirin, ya. Pokoknya Fika harus tau kalau yang sayang dan perhatian
sama Fika tu banyak.”
Mendengar
itu, aku berusaha untuk menghapus air mataku. Aku yakin, memang banyak
yang sayang padaku. Bahkan kakakku yang berusaha untuk tidak melihatku
menangis. Kemudian kakakku langsung mengajakku untuk Sholat Magrib dan
berdoa agar aku selalu diberi kesabaran, kekuatan dan ketabahan.
7. Demi Papa, Fika Akan Selalu Berusaha
Keesokan
harinya saat pulang sekolah, Bu Safira langsung menghampiriku dan
membawakan kabar gembira kepadaku. Ia mengatakn bahwa sabtu depan akan
diadakan lomba melukis tingkat provinsi dan aku sebagai perwakilan dari
sekolahku. Aku saja kaget, bagaimana bisa aku mewakilkan sekolah tetapi
kata Bu Safira aku harus yakin sepenuh hatiku bahwa dengan tanganku ini
aku akan menciptakan sebuah karya yang luar biasa.
Lalu
saat pulang kerumah, aku langsung bicara dengan Papa dan minta izin
bolehkah aku untuk mengikuti lomba ini? Papa saja kaget, lalu Papa
mengizinkan aku untuk ikut lomba ini. Banyak lah hal yang aku perlukan
dalam lomba ini, dan aku langsung minta belikan saja dengan Papa. Papa
langsung cepat ke toko alat tulis untuk membelikan semua peralatan yang
aku butuhkan saat ingin ikut lukis. Aku menyimpan semuanya dengan
baik-baik di dalam lemari ku.
Tidak
kusangka hari perlombaan sudah di depan mata, aku mulai mencari suatu
objek yang mana mungkin baik untuk kujadikan lukisan pada saat
perlombaan nanti. Aku sudah mendapatkan contoh untuk menjadi objek
gambarnya. Aku mendapati gambar seorang Ayah yang sedang berbicara
dengan anaknya. Aku mulai mencoba-coba dan berlatih agar aku bisa.
Pada
saat hari lomba pun tiba, aku sudah sangat mulai deg-degan. Aku
bangunnya sangat pagi karena untuk persiapan lomba. Mendengar suara yang
ribut dari kamarku dibawah karena aku terlalu sibuk mencari apa saja
yang ingin aku bawa saat lomba nanti, Papa terbangun dari tidurnya dan
mungkin saja Papa masih sangat dalam keadaan ngantuk dan dipaksakan
untuk turun melihatku dibawah, apa yang terjadi saat itu teman? Papa
jatuh dari tangga! Kemudian Papa pingsan sesaat, aku sangat takut dengan
kejadian itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa
menolongnya karena aku tidak kuat. Yang aku perbuat hanyalah
membangunkan Kakak dan Mama. Awalnya aku sangat takut untuk membangunkan
Mama, namun bagaimana? Ini kondisi yang sangat penting. Mau tidak mau aku harus melakukan ini.
Melihat
itu, Mama langsung menelpon ambulan darurat dari rumah sakit tempat ia
bekerja. Dan Papa langsung dilarikan kerumah sakit dan langsung masuk ke
UGD. Melihat kondisi Papa saat itu, yang aku lakukan hanya menangis dan
menangis. Lalu Mama bertanya kepadaku bagaimana keadaan itu bisa
terjadi? Aku menceritakan semuanya dengan jelas namun hati ini sangat
bergetar saat berbicara dengan Mama. Setelah mendengar cerita itu, Mama
langsung menamparku. Mama menghina ku dengan berkata “Dasar kau! Memang
kau ini pembawa sial, aku tidak ingin mengenal kau lagi! Anak sial! Aku
benci kau!” mendengar itu, tentu aku hanya makin menangis saja.
Terpaksa
aku harus pulang kerumah untuk menghindari kemarahan Mama. Aku langsung
bersiap untuk mengikuti lomba melukis ini. Sebelum pergi aku juga masih
berfikir, menjaga Papa dirumah sakit atau pergi lomba? Lalu untuk
menentukan jawaban itu, aku segera kerumah sakit langsung melihat Papa.
Sambil menangis, aku bisikan kata-kata cintaku kepada Papa. Aku minta
doa agar aku bisa sukses dalam lomba ini. Demi Papa, Fika akan berusaha,
Pa! Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan Papa dirumah sakit, aku
hanya ingin bersama Papa saja. Dengan bisikan terakhirku sebelum pergi,
aku bisikan kepada Papa “Pa, Fika janji Fika bakal menang. Kalau Fika
menang, lukisan dan hadiah Fika ini untuk Papa.” Walaupun dia belum
sadar dari tidurnya.
Ketika
itu, aku langsung pergi. Ditemui oleh Bu Safira, Bu Safira pun kaget
dan heran bahkan berapa kali ia menanya tidak aku jawab. Dan terakhir
kalinya ia bertanya mengapa aku menangis? Aku menjawab dengan teriakan
kecil “Papa..Papa sakit. Sekarang ia masuk rumah sakit. Papa sakit
karena aku, Bu. Aku tidak mau kehilangan Papa. Lebih baik aku yang
menghilang dari pada harus kehilangan Papa.” Mendengar itu, Bu Safira
hanya diam seperti menahan nangis juga. Mungkin Bu Safira ingin aku
ceria, dia tidak ingin aku menangis.
“Kamu
sayang kan sama Papa? Papa juga sayang sama kamu. Jadi itu bukan salah
siapa-siapa. Itu hanyalah takdir, semua orang mendapatkan itu.” Hibur Bu
Safira
Mendengar
itu, aku mencoba untuk nerhenti menangis. Aku yakin bahwa aku bisa
membuat Papa tersenyum lagi. Lomba pun tiba. Hanya gugup yang aku rasakan. Fikiranku hanya Papa, Papa dan Papa.
Setelah
lomba usai, rasanya aku ingin pulang saja. Aku ingin melihat Papa
dirumah sakit. Aku tidak mau mendengar pengumuman itu. Fikiranku untuk
menang pun hilang, karena fikiranku saat lomba sudah berantakan. Aku
kecewa, janjiku kepada Papa hilang sudah.
Saat
pengumuman pemenang tiba, aku langsung berdoa agar aku bisa menepati
janjiku kepada Papa. Ternyata, terimakasih Ya Tuhan. Aku mendapatkan
juara 1. Uang tunai dan pialanya aku bawa pulang cepat. Tidak
ketinggalan, aku membawa hasil lukisan ku ini kerumah sakit. Aku
berlari-lari masuk rumah sakit bahkan selalu hampir ingin jatuh.
Saat
sampai dirumah sakit, aku melihat ada Om Fariz, Tante Yuni dan Kak Ekha
menangis didepan pintu kamar perawatan Papa. Saat aku bertanya dengan
Kakak, mengapa kalian semua menangis, kakak langsung memelukku, dan
mengatakan “Kita sekarang anak yatim, dek.” Mendengar itu aku tidak
percaya, sanagt tidak percaya. Aku langsung masuk ke kamar dengan
membawa piala dan hasil lukisan ku ini.
Tiba
dikamar, benar apa yang dikatakan oleh Kakak. Tetapi aku tetap tidak
percaya. Aku melihat mayat Papa dengan rasa sangat tidak percaya, aku
teriak sekencang mungkin agar Papa bangun dan melihat apa yang aku
bawakan untuk dia. “Lukisan ini hanyalah untuk mu, Pa. Bangunlah, dan
lihatlah.”
Diluar
rumah sakit, aku seperti orang gila. Memeluk lukisan itu dengan
menyanyi lagu yang pernah Papa beritahu padaku sambil menangis.
Sejak
kejadian itu, aku jadi trauma dengan tangga. Sejak kehilangan Papa, aku
sangat merasa kesepian. Sejak aku merasa sepi, maka aku akan belajar
untuk mencari keramaian. Aku Tahu, Tuhan memang adil, tetapi kenapa
engkau harus lebih cepat mengambil orang kesayanganku dari pelukanku?
Tuhan, tolong beri dia ditempat yang layak baginya, tempat yang baik
baginya, tempat yang tenang karena orang seperti dia tidak pantas
diberikan tempat yang buruk, suram dan tak tenang. Maafkan lah aku,
Tuhan. Sebelum dia Engkau panggil, aku tidak pernah membuat dia bangga,
membuat dia bahagia. Aku tidak akan melupakan semua kisah-kisah terindah
yang kita alami selama ini. Aku hanyalah anak yang buruk, kenapa tidak
aku saja yang Kau jemput terlebih dahulu?
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar