Sabtu, 30 Juni 2012

LUKISAN UNTUK PAPA

1. Namaku Fika




Hai, namaku Rafika Larani dan biasa dipanggil Fika. Aku mempunyai satu kakak perempuan bernama Ekha Apsanie, ia biasa dipanggil Ekha. Mamaku bernama Hanifah ia bekerja sebagai dokter. Papaku bernama Jhon Zauhari, ia bekerja sebagai Dosen di sebuah universitas negeri di daerahku. Aku senang dengan mereka, senang sekali karena aku yakin aku pasti akan dimanja karena aku paling kecil dirumahku hehe..
Aku masih kelas 2smp dan aku bersekolah di salah satu sekolah swasta yang tidak jauh dari rumahku. Kakakku sekarang sudah kelas 2sma dan ia bersekolah jauh dari rumah. Kakak bersekolah disana karena ia mendapat beasiswa dari sekolah itu karena memang dari kecil dia sangat berprestasi beda hal nya dengan aku, aku adalah gadis kecil yang bodoh, kurang pergaulan, dan tidak tahu apa-apa..
Kakak selalu diantar-jemput oleh Mama, aku jalan kaki saja kok hehe. Tetapi, apabila kami sedang berkumpul ria, aku terkadang iri melihat kakak yang selalu dibanggakan oleh Mama. Ya, pantas dan wajarlah ia membanggakan kakak, karena kakak itu memang anak yang sangat cerdas. Aku bangga mempunyai kakak seperti kak Ekha.



2. Saat Awal Aku Menyukai Melukis


Disekolah ku, aku mengikut tiga sekaligus ekstrakulikuler yaitu basket, PMR dan Seni Lukis. Tahukah kalian teman, dalam semua bidang ekstrakulikuler yang aku ikuti ini, tidak ada yang sangat aku bisa. Aku termasuk anak kaku untuk bekerja seperti itu. Mungkin kalian akan tertawa geli bila melihatku yang culun, kaku, tidak bisa apa-apa tetapi mengikuti tiga sekaigus ekstra kulikuler disekolah, hahaa..
Tetapi aku merasa aku sangat disayangi oleh guru-guru yang mengajarku entah mengapa aku merasa begitu apa lagi Ibu Safira, guru yang mengajari kami dalam bidang Seni Lukis ini sangat peduli denganku. Dia yakin, bahwa tanganku pasti bisa menciptakan suatu karya seni yang luar biasa. Mendengar itu aku hanya bisa tersenyum sambil menahan tawa. Ya bayangkan saja, apa yang aku bisa dengan tangan-tangan kaku ini?
Beberapa minggu kemudian setelah aku giat mengikuti ekskul ini, aku sangat menyukai Lukis ini. Aku latihan melukis lebih giat bukan karena keluargaku sangat mendukung, melainkan guruku itulah yang sangat memberi semangat yang ekstra. Karena itulah, aku yakin aku bisa! Aku tidak akan mengecewakan orang yang telah memberikanku semangat lebih dari Ibu Kandungku.
Ketika ada suatu lomba melukis, aku diajak oleh Ibu Safira untuk mengikutinya tetapi aku menolak. “waah Ibu kalau mau bikin smp kita menang jangan pakai aku, Bu. Aku gak bisa apa-apa. Jangan aku yah, Bu! Aku bakal malu kalau Ibu ngajak aku.” Aku sudah berkata sambil menolak seperti itu, tetapi Ibu Safira masih saja mendaftarkan aku untuk mengikuti lomba melukis ini. Ya, aku hanya bisa pusing dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi sebelum lomba itu. Namun aku yakin, dibalik sebuah usaha pasti ada hasil yang memuaskan.
Ketika sudah lomba, apa yang aku fikirkan itu jadi tidak karuan semua karena terlalu pusingnya aku. Rasanya ingin cepat-cepat pulang, tidak mau mendengar pengumuman siapa yang akan menang. Kak Monica, kakak kelasku sudah sangat yakin bahwa dia akan memenangkan lomba ini dan dia selalu menertawakan aku karena kemampuanku yang belum seberapa tapi sudah diikuti lomba tingkat kota. Kak Monica emang pernah menyumbangkan piala juara 3 lomba melukis tingkat kota tahun kemarin, mungkin karena itulah dia menjadi terlihat sombong, angkuh. Ya, tapi mau bagaimana lagi dia adalah kakak kelasku, aku tidak bisa melawannya karena aku takut akan terjadi apa-apa denganku.
Ketika pengumuman pemenang diumumkan, aku sudah sangat takut, malu, keringat dingin, dan rasanya ingin menangis. Juara 3sudah diumumkan dan aku makin kecewa. “yah, juara 3 saja lukisannya sebagus itu. Mustahil sekali aku untuk menjadi juara. Ah biarin deh yang penting pengalaman dulu.” Namun saat aku berkata seperti itu, Ibu Safira malah memarahi aku dan menyuruhku tetap optimis. Tapi bagaimana, rasa kecewa itu sangat mendalam dihatiku ini. Juara 2 akan diumumkan dan? Waw! Apa yang terjadi? Apakah aku bermimpi? Ya Tuhan, terimakasih atas semua ini. Aku juara 2? Ah aku benar-benar bermimpi? Tidak! Aku tidak bermimpi. Betapa senangnya aku, rasanya seperti mimpi indah yg tidak akan kulupakan, tetapi saat itu aku tidak tidur dan tidak bermimpi.
Saat kami akan pulang, semua anak yang mengikuti lomba itu memberi selamat kepada sang juara-juaranya, tetapi beda halnya dengan Kak Monic. Dia tidak memberikanku selamat, atau pujian sama sekali. Saat di bus, Kak Monic menangis disamping Bu Safira sambil marah-marah dan berkata “Juri tahun ini memang benar-benar buta! Beda dengan juri tahun kemarin yang memang sudah benar, sudah ada bakat untuk menilai hasil lukisan seseorang. Buta! Mereka buta semua!” mendengar itu aku hanya diam tidak berani berbicara apa-apa, dalam hati ku hanya berkata “Sudahlah, ini memang bakatku dengan kemampuanku dan semangat dalam hatiku. Aku tidak curang, aku menang karena aku memang benar.”

3. Aku Yakin, Aku Bisa!







Setelah sampai dirumah, aku langsung memberi tahu Mama, Papa dan Kakak bahwa aku telah menang dalam lomba ini, Papa sangat senang mendengar kabar itu, namun beda hal-nya dengan Mama. Respon yang mama berikan saat aku mengatakan bahwa aku telah menang  biasa saja. Tak ada rasa bangga, malahan dia mengatakan bahwa menang dalam lomba melukis itu adalah hal yang sangat biasa karena itu cocoknya untuk anak-anak kecil bukan anak-anak se-usiaku seperti ini. Mendengar itu aku hanya bisa diam dan menahan sedih. Mungkin kritik dari ibu itu cocok untukku jadikan sebagai pendorong semangatku agar aku lebih giat berlatih, lebih sering belajar melukis seperti ini. “aku yakin aku bisa!” mungkin aku terlalu sakit hati melihat Mama berkata seperti itu, namun aku akan tunjukkan kepadanya bahwa aku pasti bisa!
Karena aku terlalu pusing, terlalu memikirkan perkataan Mama, aku mulai membuat banyak-banyak tulisan “AKU YAKIN AKU BISA” dari kertas warna yang lalu akan aku tempelkan pada semua sisi sudut kamarku. Sekarang lihatlah kamarku, penuh dengan tulisan seperti itu. Setiap kali aku mengundang temanku kerumah dan bermain di kamarku, mereka selalu bertanya “untuk apa kau membuat ini?” dan aku selalu menjawab, “itu adalah doa. Setiap orang yang membaca ini maka aku sangat berterimakasih dengan mereka karena mereka telah mendoakanku supaya aku bisa.” Teman-temanku hanya bingung dan aneh mendengar jawabanku. “aku serius!” aku mengulangi perkataanku tadi agar mereka benar-benar percaya denganku.
Saat itulah setiap aku bangun dari tidur, aku langsung membaca kata itu. Aku harus bisa, aku yakin aku bisa! Aku akan berusaha sendiri, berusaha sebisa mungkin untuk membahagiakan Mama & Papa. Aku ingin mengikuti jejak kakak ku yang selalu bisa membahagiakan Mama & Papa. Dia bisa, kenapa aku tidak? Aku yakin aku bisa!



4. Mungkin, Mungkin Itu Pasti.










Setiap kali aku latihan melukis disekolahku, selalu aku perhatikan bahwa yang selalu mengasih semangat ke aku itu Papa. Tapi, apakah ada Mama selalu mendukungku? Tidak! Aku tidak pernah melihat dia memberikanku semangat dan dukungan untukku. Iya, pastinya kalian tahu apa yang aku rasakan. Betapa sedihnya aku.
Sering kali aku berfikir bahwa “apakah aku bukan anak kandung dari Mama?” aah kenapa aku selalu berfikir negatif. Tapi pertanyaan itu selalu ada di benakku. Yang selalu aku fikirkan, mengapa Mama lebih mendukung semua kegiatan Kak Ekha dari pada aku. Aku tau itu, aku tau Kak Ekha memang lebih unggul prestasi dari pada aku. Tetapi, setidaknya Mama juga harus memberi dukungan kepadaku, walau sedikit tetapi itu harus ada. Ya, kalian tau kalau aku memang iri. Aku seperti kehilangan kasih sayang dari seorang Ibu, itu sempat membuatku putus asa dalam hidup. Tetapi ya bagaimana, aku tidak bisa membenci Ibuku sendiri bagaimanapun juga sifat dia terhadapku, dia tetap Ibuku.
Hanya dialah yang bisa membangkitkan semangat hidupku lagi. Benar, dia adalah Papa. Aku selalu merasa nyaman di dekatnya, dia selalu memberikanku kasih sayang yang super besar. Dia selalu menjagaku, disaat aku sedih tempat ku untuk mencurahkan perasaanku hanyalah dia walau dia laki-laki, tetapi aku selalu bertanya tentang keadaan wanita dengannya sehingga dia seperti Mama.
Aku tidak ingin lagi berfikir tentang negatif karena aku yakin itu semua salah dan tidak benar. Terimakasih ayah atas semua perhatian dan kasih sayang yang kau berikan, suatu saat aku pasti akan membalas ini walau kubalas hanya dengan sebuah nilai yang kecil bagimu tetapi itu suatu usaha terbesar bagiku. Aku berjanji akan membuatmu senyum bahagia, senyum bangga terhadapku! Percayalayh Pa! Aku berjanji, percayalah!


5. Dia Sama Sepertiku




       Ketika pulang sekolah, aku diajak oleh Bu Safira mengajakku untuk berkunjung kerumahnya, kebetulan juga aku ingin sekali tahu rumahnya. “bentar ya, Bu. Aku minta izin dulu sama papa.” Kataku sebelum khendak pergi kerumah Bu Safira. Kemudia aku  menelpon papa menggunakan telepon umun yang ada di depan sekolah ku. “Assalamu’alaikum Pa. Ini fika, Pa.”



“oh dengan Fika. Kenapa sayang?”
“Pa, boleh nggak Fika pulang sekolahnya langsung kerumah Bu Safira”
“memangnya ada acara apa?”
“gak ada, Pa. Cuma ingin berkunjung aja kok”
“ya sudah. Tapi hati-hati ya. Pulangnya gimana?”
Aku sempat diam dan berhenti bicara, lalu bertanya sama Bu Safira bagaimana aku pulangnya? “tidak apa-apa. Nanti Ibu antar saja kerumahnya, yah.” Jawab Bu Safira dengan tenang. Lalu aku melanjutkan percakapanku dengan ayah dan terimakasih aku diizinkan untuk berkunjung ke rumah Bu Safira.
Kami kerumah Bu Safira naik Bus,karena aku pertama kalinya keluar dengan orang yang bukan keluargaku tentu tetap takut walau sekalipun itu guru terbaikku karena pesan Papa selalu berhati-hatilah dengan orang yang tidak kenal dekat olehku.
Cukup jauh teman perjalanannya, aku pun mual-mual di Bus karena ga tahan. Ketika sampai di rumah Bu Safira aku merasa puas sekali karena rasa mual ku di Bus terbayar karena baru sampai depan pagar aku sudah menikmati taman yang penuh dengan bunga-bunga kesukaanku.
Ketika masuk kerumahnya, aku melihat banyak sekali lukisan-lukisan indah ketika kutanya itu semua lukisan karya Bu Safira dan Suaminya, Pak Retno. Aku melihat-lihat isi rumah Bu Safira, ketika ke ruang tv aku melihat seorang gadis sedang menonton tv, aku tidak tau itu siapa.dan aku coba-coba untuk menyapanya “Hay, kamu siapa?” sapaku sambil tersenyum. Saat ku sapa dia, dia malah kaget dengan wajah cemas sekaligus pucat. Aku malah takut, niatku yang baik ingin ngajak kenalan eh malah hancur. Aku bingung lihat dia, lalu aku berlari ke dapur dan bertanya kepada Bu Safira dia itu siapa? “dia itu anak Ibu satu-satu nya. Memangnya kenapa?” jawab Bu Safira.
“siapa Bu namanya?”
“namanya Adista Rinjana biasa dia dipanggil Adis. Kamu sudah lihat dia? Lihat dimana?” jawab Bu Safira sambil membuat kue.
“iya, Bu. Tadi saat aku ke ruang tv liat dia nonton tv. Tapi waktu aku mau deketin dia, dianya berlari dengan wajah cemas itu loh, Bu. Aku sedikit agak tersinggung, Bu. Memang di diriku ada salah apa ya, Bu?”
Sambil menatapku dengan sedih, Bu Safira seperti ada yang disembunyikannya selama ini. “kenapa, Bu?” tanyaku ulang.
“kita ke ruang tamu saja. Kalau cerita disini Ibu rasa makanannya bisa ga steril lagi. Hehe..” Kata Bu Safira yang mencoba menghibur dirinya sendiri.
Saat di ruang tamu, Bu Safira mencoba membuatku lupa dan tidak penasaran. Tetapi aku tetap menagih apa yang ingin diceritakan oleh Bu Safira. “Begini, Adis sewaktu kecil bersekolah sama seperti mu. Mempunyai banyak teman, tapi teman-temannya tidak sebaik apa yang difikirkan oleh Adis. Adis dikenal sebagai anak yang cerdas di sekolahnya, namun itulah yang membuat Adis dibenci oleh teman-temannya. Adis selalu diejek, bahkan dia sering di tampar, disiksa oleh teman-temannya. Hal itu sempat membuat Adis untuk takut pergi bersekolah. Ceritanya seperti drama saja ya. Rasanya juga kurang percaya, hehe” cerita Bu Safira sambil menahan air mata.
“oh, kalau begitu sama dong Bu seperti aku.” Jawabku dengan wajah ceria yang menyembunyikan perasaan sedih.
“sama? Maksudnya?”
“iya sama, Bu. Aku di sekolah sering banget di ejek, dijahilin bahkan rambutku suka ditarik-tarik oleh temanku. Tetapi tidak apa-apa, Bu. Karena aku yakin mereka yang seperti itu dengan kita akan dapat balasan yang lebih dari kita.”
“kamu sering diperlakukan seperti itu? Oleh siapa Fika?” tanya Bu Safira yang terlihat sangat penasaran.
“Dia bukan siapa-siapa, Bu. Hehee.. kue yang ingin Ibu buat tadi gimana, Bu? Ntar dibawa kucing lari lagi” kataku sambil berusaha mengalihkan pembicaraan.
“kamu jangan mengalihkan pembicaraan, Fika! Katakan pada Ibu, siapa yang berlaku jahat seperti itu dengan kamu?”
“di..di..ddiiiaa Kakk..kakk Mon..mon Monic, Bu.” Kataku yang gugup menjawabnya.
“oh dia. Kenapa dia bisa begitu?”
“sepertinya dia iri Bu dengan saya karena akhir-akhir ini Ibu selalu memerhatikan aku terus. Eh iya Bu, jadi Adis gak sekolah?”
“hahahah.. lucu ya mendengarnya. Dia home schooling, iya karena dia trauma saja untuk bergaul dengan teman-teman sekolahnya. Ibu jadi lupakan sama kue tadi, Ibu panggil Adis dulu ya biar kamu ada temen ngobrol.”
“iya iya, Bu!”
Saat aku diajak ke kamar Adis, ternyata Adis sedang belajar. Ibu Safira bilang kalau aku adalah teman barunya yang baik, beda dengan teman-teman sekolahnya dulu. Adis masih takut melihatku, tetapi aku berusaha untuk membuatnya tidak trauma lagi terhadap teman sekolah. “hay Adis”
“hay” jawabnya dengan takut.
“ya sudah, kalian duduk di ruang tv saja ya jadi bisa ngobrol sambil nonton kan. Ibu tinggal ya. Bunda buat kue kesukaan Adis dulu ya.” Kata Bu Safira sambil mencium dahi Adis.
Selama duduk di ruang tv sambil menunggu Bu Safira buat kue, kami hanya diam saja. “Adis kelas berapa? Eh iya, namaku Fika kelas 2 SMP. Aku sekolah di tempat Bundamu mengajar.” Sapaku duluan.
“kelas 2smp juga. Iya.” Jawabnya yang singkat sekali.
“aku dengar kamu home schooling ya? Kenapa gak sama sepertiku saja yang bersekolah biasa?” tanyaku.
Dia sama sekali tidak menjawab. Benar apa yang dikatakan oleh Bu Safira, dia memang mempunyai trauma yang mendalam terhadap teman-teman sebaya nya.
“kenapa gak sekolah sama sepertiku? Aku juga sama sepertimu, yang sering di jahilin oleh teman-temanku. Namun, aku menganggap itu biasa saja. Bahkan kalu dilihat dari sisi hidup kita, kau lebih beruntung dari aku. Kau tak pantas untuk mengeluh, aku saja yang lebih buruk nasib dari pada kau selalu menghindari rasa mengeluh, kecewa dan putus asa.” Bujukku ulang.
“maksudmu apa bahwa aku lebih beruntung dari kau?” tanya Adis
“ya, kau hanya dijahati oleh temanmu saja namun dalam rumahmu, kau sangat disayang apa lagi oleh Bunda mu. Kamu tau, aku terkadang iri lho melihat seorang anak yang sangat dimanja, disayang oleh Ibu kandungnya sendiri. Iya, aku memang mendapat kasih saya dari seorang Ibuku. Tapi, bagiku kasih sayang itu menyakitkan.” Jawabku sambil berlinang air mata.
“kenapa begitu? Kamu jangan nangis ya.”
“Ibu ku tidak menganggapku sebagai anaknya.” Kataku sambil menahan tangis. Tiba-tiba Adis langsung memelukku. “Aku beruntung, ya aku beruntung. Terimakasih, kamu jangan pernah nangis. Ibumu sayang denganmu, bagaimanapun dia adalah Ibumu.” Hibur Adis agar aku tidak menangis.
“terimakasih, Dis” balasku dengan senyum.
“sama-sama, Fika.” Kata Adis sambil senyum haru.
Setelah itu, untuk lebih akrab lagi aku diajak oleh Fika untuk main ke kamarnya. Dia memperlihatkan semua mainan yang ada dikamar nya. Dia memperlihatkan album foto-foto bersama keluarganya. Dia menceritakan bagaimana sewaktu kecil dia diperlakukan jahat oleh temannya. Mendengar semua cerita itu, aku tidak bisa berkata banyak karena memang aku tidak tahu jelas bagaimana jalan ceritanya, tetapi aku hanya mengasih saran saja kepadanya bahwa “Hidup tidak selalu baik, tidak selalu buruk. Jadi, biasakan dirimu ya!”  karena keasikan bercerita, sampai-sampai kami tidak mendengar kalau Bu Safira memanggil kami untuk mengajak makan kue yang telah ia buat tadi.
Sehabis makan kue, aku sengaja mengajak Adis untuk jalan-jalan keluar rumah karena seperti kata Bu Safira, dia jarang keluar rumah. Bahkan, perjalanannya selama ini yang paling jauh adalah pagar rumahnya?! Waw, apa kata kalian? Aku saja kaget. Hehe..
Kami berkeliling komplek rumahnya menggunakan sepeda Adis. Adis masih takut membawa sepedanya sendiri, jadi aku yang membawa dan Adis duduk di belakang. Ini lucunya, ketika sudah cukup jauh dari rumah mengelilingi komplek, kami terjatuh karena ban sepeda nya pecah. Kami bukannya malah minta tolong tetapi kami tertawa menahan malu. Sampai kerumah Adis, kami membawa sepedanya dengan mendorong sambil tertawa-tawa. Itu sangat seru! Tiba dirumah, kami langsung disuruh masuk oleh Bu Safira karena dia memasak sesuatu dan dipintanya untuk mencicipi dulu. Tahukah kalian apa yang aku fikirkan ketika Bu Safira perhatian denganku? Ya, dia yang bukan Ibu Kandungku saja bisa memberikanku perhatian yang lebih, kenapa Ibu Kandungku bersifat seolah Ibu Tiri bagiku? Ah sudah, lupakan itu. Bagaimana pun dia tetap mama ku.


6. Sampai Kapanpun, Kakak Sayang Fika


Mungkin karena keasikan bermain aku sampai lupa waktu. Waktu telah menunjukkan jam 5 sore. Ini kali pertamanya aku keterlaluan, pulang sekolah saja jam 12 sedangkan baru mau pulang kerumah baru jam 5 sore. Tapi, tidak apa-apa kan aku sudah diizinkan oleh Papa. Dan aku langsung segera minta antarkan oleh Bu Safira untuk pulang kerumah.
Sampai dirumah, aku disambut dengan kekecewaan. Kegembiraan ku saat dirumah Bu Safira berkahir secepat itu. Baru masuk pintu saja sudah dibentak oleh Mama. “dari mana kamu? Jam segini baru pulang? Mau belajar jadi anak nakal? Gitu?!” bentak mama dengan keras.
“dari rumah Bu Safira, guru seni lukisku, Ma.” Jawabku dengan pelan
“masih mau lanjutin lukisnya? Bisa apa kamu dengan tanganmu itu? Jangan selalu buat saya malu ya dengan tingkah kamu!” bentak mama dengan keras.
“apa lagi ini, Ma? Jangan marah-marah kenapa? Fika tadi sudah menelpon Papa kalau mau ada kegiatan dirumah gurunya. Sini Fika, tadi makan dimana sayang? Mandi dulu ya, kalau sudah mandi langsung makan.” Kata papa untuk membela dan menenangkan aku.
“iya, Pa.” Jawabku dengan pelan.
Setelah aku sudah mandi, aku mendekat ke kamar Papa. Aku mendengar mereka sepertinya sedang seru berbicara dan nampaknya di dalam kamar Papa ada Kak Ekha. “Ma, Pa, besok boleh nggak Ekha pergi nonton? Kata temen sekarang lagi ada film yang bagus lho. Kan aku penasaran” pinta kak Ekha yang ku dengar.
“boleh dong, sama temen ya?”
“nggak usah deh, Ma. Sama Fika aja, mungkin kan lebih seru.”
“seruan sama temen-temen kamu kali. Sama temen aja, biar gak ada rasa malunya gitu.”
“malu? Maksudnya?” sambung papa.
“ya, begitu. Coba Papa fikirin, apa pantes Ekha yang lembut gemulai jalan sama anak itu? Yang culun? Kasihan Ekha, pasti besar dia menahan rasa malu.”
“ma, mama malu punya anak seperti Fika? Malu kenapa? Dia sama seperti anak yang lainnya. Dia tidak berbeda! Bahkan dia mempunyai akal yang kuat. Kalau mama malu punya anak seperti Fika, berarti Mama juga malu mempunyai suami seperti Papa!” bentak Papa dengan mama.
“malu? Ekha gak malu, Ma! Dia kan adik kandung Ekha. Ekha sayang Fika. Pokoknya Ekha tetep mau jalan sama Fika aja! Kalau bukan dengan Fika, Ekha gak mau.” Pinta ulang kak Ekha.
“iya ma, lagi pula kasih dia kebebasan juga. Jangan selalu dirumah saja, itulah yang membuat dia kurang pergaulan. Kurang pergaulan dia itu adalah mama yang menyebabkan! Jadi, semua itu salah Mama!” bentak papa.
“Papa! Kalau saya tau Fika akan remaja dengan seperti itu, aku lebih memilih untuk tidak mengenalnya sekaligus aku tidak akan melahirkan dia!” jawab mama.
Mendengar itu, aku langsung ke kamar dan menangis ditempat tidur. Mencoba menahan tangis itu susah, apalagi jika mendengar kata-kata seperti itu dari mulut Ibu Kandung kita sendiri.
Tak lama itu, Kakak langsung masuk kamar dengan rasa cerianya. Dia kaget melihatku menangis dan langsung menghampiri ku dan bertanya “Fika, kamu kenapa dek?” aku hanya diam dan kemudian dia bertanya ulang “Fika kenapa? Fika cerita sama kakak ya. Fika kenapa? Mungkin kakak bisa kasih saran yang baik untuk Fika.”
“Mama nyesel kak ngelahirin aku. Kenapa Mama ga bunuh aku saja?” kataku sambil menangis kesal.
“Fika gak boleh ngomong kayak gitu!” kata kakak sambil melihatku penuh haru. Lalu, dia langsung memelukku dan berkata “Fika, Fika tu adek Kakak. Kakak sayang sama Fika, sampai kapanpun kakak sayang Fika. Mungkin Fika mendengar apa yang dikatakan oleh Mama di kamar tadi, tapi tolong jangan difikirin, ya. Pokoknya Fika harus tau kalau yang sayang dan perhatian sama Fika tu banyak.”
Mendengar itu, aku berusaha untuk menghapus air mataku. Aku yakin, memang banyak yang sayang padaku. Bahkan kakakku yang berusaha untuk tidak melihatku menangis. Kemudian kakakku langsung mengajakku untuk Sholat Magrib dan berdoa agar aku selalu diberi kesabaran, kekuatan dan ketabahan.


7. Demi Papa, Fika Akan Selalu Berusaha


Keesokan harinya saat pulang sekolah, Bu Safira langsung menghampiriku dan membawakan kabar gembira kepadaku. Ia mengatakn bahwa sabtu depan akan diadakan lomba melukis tingkat provinsi dan aku sebagai perwakilan dari sekolahku. Aku saja kaget, bagaimana bisa aku mewakilkan sekolah tetapi kata Bu Safira aku harus yakin sepenuh hatiku bahwa dengan tanganku ini aku akan menciptakan sebuah karya yang luar biasa.
Lalu saat pulang kerumah, aku langsung bicara dengan Papa dan minta izin bolehkah aku untuk mengikuti lomba ini? Papa saja kaget, lalu Papa mengizinkan aku untuk ikut lomba ini. Banyak lah hal yang aku perlukan dalam lomba ini, dan aku langsung minta belikan saja dengan Papa. Papa langsung cepat ke toko alat tulis untuk membelikan semua peralatan yang aku butuhkan saat ingin ikut lukis. Aku menyimpan semuanya dengan baik-baik di dalam lemari ku.
Tidak kusangka hari perlombaan sudah di depan mata, aku mulai mencari suatu objek yang mana mungkin baik untuk kujadikan lukisan pada saat perlombaan nanti. Aku sudah mendapatkan contoh untuk menjadi objek gambarnya. Aku mendapati gambar seorang Ayah yang sedang berbicara dengan anaknya. Aku mulai mencoba-coba dan berlatih agar aku bisa.
Pada saat hari lomba pun tiba, aku sudah sangat mulai deg-degan. Aku bangunnya sangat pagi karena untuk persiapan lomba. Mendengar suara yang ribut dari kamarku dibawah karena aku terlalu sibuk mencari apa saja yang ingin aku bawa saat lomba nanti, Papa terbangun dari tidurnya dan mungkin saja Papa masih sangat dalam keadaan ngantuk dan dipaksakan untuk turun melihatku dibawah, apa yang terjadi saat itu teman? Papa jatuh dari tangga! Kemudian Papa pingsan sesaat, aku sangat takut dengan kejadian itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku tidak bisa menolongnya karena aku tidak kuat. Yang aku perbuat hanyalah membangunkan Kakak dan Mama. Awalnya aku sangat takut untuk membangunkan Mama, namun bagaimana? Ini kondisi  yang sangat penting. Mau tidak mau aku harus melakukan ini.
Melihat itu, Mama langsung menelpon ambulan darurat dari rumah sakit tempat ia bekerja. Dan Papa langsung dilarikan kerumah sakit dan langsung masuk ke UGD. Melihat kondisi Papa saat itu, yang aku lakukan hanya menangis dan menangis. Lalu Mama bertanya kepadaku bagaimana keadaan itu bisa terjadi? Aku menceritakan semuanya dengan jelas namun hati ini sangat bergetar saat berbicara dengan Mama. Setelah mendengar cerita itu, Mama langsung menamparku. Mama menghina ku dengan berkata “Dasar kau! Memang kau ini pembawa sial, aku tidak ingin mengenal kau lagi! Anak sial! Aku benci kau!” mendengar itu, tentu aku hanya makin menangis saja.
Terpaksa aku harus pulang kerumah untuk menghindari kemarahan Mama. Aku langsung bersiap untuk mengikuti lomba melukis ini. Sebelum pergi aku juga masih berfikir, menjaga Papa dirumah sakit atau pergi lomba? Lalu untuk menentukan jawaban itu, aku segera kerumah sakit langsung melihat Papa. Sambil menangis, aku bisikan kata-kata cintaku kepada Papa. Aku minta doa agar aku bisa sukses dalam lomba ini. Demi Papa, Fika akan berusaha, Pa! Sebenarnya aku tidak ingin meninggalkan Papa dirumah sakit, aku hanya ingin bersama Papa saja. Dengan bisikan terakhirku sebelum pergi, aku bisikan kepada Papa “Pa, Fika janji Fika bakal menang. Kalau Fika menang, lukisan dan hadiah Fika ini untuk Papa.” Walaupun dia belum sadar dari tidurnya.
Ketika itu, aku langsung pergi. Ditemui oleh Bu Safira, Bu Safira pun kaget dan heran bahkan berapa kali ia menanya tidak aku jawab. Dan terakhir kalinya ia bertanya mengapa aku menangis? Aku menjawab dengan teriakan kecil “Papa..Papa sakit. Sekarang ia masuk rumah sakit. Papa sakit karena aku, Bu. Aku tidak mau kehilangan Papa. Lebih baik aku yang menghilang dari pada harus kehilangan Papa.” Mendengar itu, Bu Safira hanya diam seperti menahan nangis juga. Mungkin Bu Safira ingin aku ceria, dia tidak ingin aku menangis.
“Kamu sayang kan sama Papa? Papa juga sayang sama kamu. Jadi itu bukan salah siapa-siapa. Itu hanyalah takdir, semua orang mendapatkan itu.” Hibur Bu Safira
Mendengar itu, aku mencoba untuk nerhenti menangis. Aku yakin bahwa aku bisa membuat Papa tersenyum lagi. Lomba pun tiba. Hanya gugup yang  aku rasakan. Fikiranku hanya Papa, Papa dan Papa.
Setelah lomba usai, rasanya aku ingin pulang saja. Aku ingin melihat Papa dirumah sakit. Aku tidak mau mendengar pengumuman itu. Fikiranku untuk menang pun hilang, karena fikiranku saat lomba sudah berantakan. Aku kecewa, janjiku kepada Papa hilang sudah.
Saat pengumuman pemenang tiba, aku langsung berdoa agar aku bisa menepati janjiku kepada Papa. Ternyata, terimakasih Ya Tuhan. Aku mendapatkan juara 1. Uang tunai dan pialanya aku bawa pulang cepat. Tidak ketinggalan, aku membawa hasil lukisan ku ini kerumah sakit. Aku berlari-lari masuk rumah sakit bahkan selalu hampir ingin jatuh.
Saat sampai dirumah sakit, aku melihat ada Om Fariz, Tante Yuni dan Kak Ekha menangis didepan pintu kamar perawatan Papa. Saat aku bertanya dengan Kakak, mengapa kalian semua menangis, kakak langsung memelukku, dan mengatakan “Kita sekarang anak yatim, dek.” Mendengar itu aku tidak percaya, sanagt tidak percaya. Aku langsung masuk ke kamar dengan membawa piala dan hasil lukisan ku ini.
Tiba dikamar, benar apa yang dikatakan oleh Kakak. Tetapi aku tetap tidak percaya. Aku melihat mayat Papa dengan rasa sangat tidak percaya, aku teriak sekencang mungkin agar Papa bangun dan melihat apa yang aku bawakan untuk dia. “Lukisan ini hanyalah untuk mu, Pa. Bangunlah, dan lihatlah.”
Diluar rumah sakit, aku seperti orang gila. Memeluk lukisan itu dengan menyanyi lagu yang pernah Papa beritahu padaku sambil menangis.
Sejak kejadian itu, aku jadi trauma dengan tangga. Sejak kehilangan Papa, aku sangat merasa kesepian. Sejak aku merasa sepi, maka aku akan belajar untuk mencari keramaian. Aku Tahu, Tuhan memang adil, tetapi kenapa engkau harus lebih cepat mengambil orang kesayanganku dari pelukanku? Tuhan, tolong beri dia ditempat yang layak baginya, tempat yang baik baginya, tempat yang tenang karena orang seperti dia tidak pantas diberikan tempat yang buruk, suram dan tak tenang. Maafkan lah aku, Tuhan. Sebelum dia Engkau panggil, aku tidak pernah membuat dia bangga, membuat dia bahagia. Aku tidak akan melupakan semua kisah-kisah terindah yang kita alami selama ini. Aku hanyalah anak yang buruk, kenapa tidak aku saja yang Kau jemput terlebih dahulu?


THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar